Sabtu, 01 Mei 2010

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN LAPANGAN KERJA SEKTOR INDUSTRI DI SUMATERA UTARA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN LAPANGAN KERJA SEKTOR INDUSTRI DI SUMATERA UTARA

Widodo, Iskandar Syarief,
Rujiman, Irsyad Lubis

Abstrak : Penelitian ini menganalisis pertumbuhan lapangan kerja sektor industri di Sumatera Utara. Dengan variabel-variabel bebas investasi sektor industri, tingkat upah minimum propinsi, tingkat pendidikan yang tamatan D1 sampai dengan S1, dan tingkat kesempatan kerja tahun sebelumnya. Sedangkan variabel terikat adalah kesempatan kerja. Data yang digunakan data time series tahun 1985-2004 dengan metode Ordinary Least Square (OLS).Model yang dipergunakan adalah Model Penyesuaian Parsial (PAM). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel investasi memberikan pengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen atau α = 10 persen, tingkat upah minimum propinsi memberikan pengaruh negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen atau α = 5 persen, tingkat pendidikan tamatan D1 sampai dengan S1 memberikan pengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen atau α = 10 persen, dan tingkat kesempatan kerja tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen atau α = 1 persen terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara.

Kata kunci : lapangan kerja, sektor industri, investasi, tingkat upah minimum propinsi, tingkat pendidikan, tingkat kesempatan kerja


PENDAHULUAN
Jumlah atau besarnya penduduk umumnya dikaitkan dengan pertumbuhan income per kapita suatu negara, yang secara kasar mencerminkan kemajuan perekonomian negara tersebut. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan kompleks, besar karena menyangkut jutaan jiwa, dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi sekaligus di pengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti yang tidak mudah difahami. Faktor demografis mempengaruhi jumlah dan komposisi angkatan kerja
Perubahan struktural juga terjadi dalam bidang ketenagakerjaan, sebagai-mana terlihat antara lain dari pertambahan absolut jumlah tenaga kerja di sektor bukan pertanian. Selama kurun waktu 1990-1997, tenaga kerja sektor bukan pertanian meningkat lebih dari 16,5 juta orang, sebaliknya tenaga kerja di sektor pertanian, dan untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia turun lebih dari 6,7 juta orang. Pertambahan tenaga kerja bukan pertanian mencolok di sektor perdagangan, jasa, industri dan kontruksi. Selama kurun waktu itu, tenaga kerja bukan pertanian secara keseluruhan tumbuh sekitar 6,0 persen per tahun (Depnakertrans, 2004).
Seiring dengan otonomi daerah, Propinsi Sumatera Utara dalam perkembangannya semakin diperluas dari segi pemerintahannya, dari 16 kabupaten dan 7 kota pada tahun 2003, berkembang menjadi 18 kabupaten dan 7 kota pada tahun 2004. Adapun kabupaten yang berkembang adalah Kabupaten Serdang Bedagai (pecahan Kabupaten Deli Serdang) dan Kabupaten Samosir (pecahan dari Kabupaten Toba Samosir). Luas daerah Sumatera Utara 71.680,68 km2 dengan kepadatan penduduk pada tahun 2004 yakni 169 jiwa per km2.
Jumlah penduduk Sumatera Utara yang merupakan angkatan kerja terlihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Angkatan Kerja Propinsi Sumatera Utara Tahun 1985-2004
Tahun Angkatan Kerja Bekerja Mencari Kerja &
Tidak Bekerja
1985 3.463.363 3.394.159 69.204
1990 3.948.729 3.820.329 128.400
1995 4.472.950 4.575.651 167.299
2000 5.283.268 4.947.539 335.729
2004 5.514.170 4.756.078 758.092
Sumber : BPS Sumut dalam berbagai terbitan

METODE PENELITIAN
1. Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan masalah ketenagakerjaan sektor industri di Propinsi Sumatera Utara, dengan kajian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja sektor industri di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menganalisis kesempatan kerja sektor industri Propinsi Sumatera Utara dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2004. Dengan variabel bebas yakni Investasi sektor industri, Tingkat Upah Minimum Propinsi, Tingkat Pendidikan yang tamatan D1 sampai dengan S1 dan Tingkat Kesempatan Kerja tahun sebelumnya .
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) yang bersumber dari BPS selama kurun waktu dari tahun 1985 sampai 2004, dan dari berbagai instansi di Propinsi Sumatera Utara seperti Disnaker, Badan Investasi dan Promosi. Disamping itu untuk data pendukung lainnya diperoleh dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan tenaga kerja. Adapun jenis-jenis data antara lain : Investasi sektor industri yang terdiri dari realisasi PMA dan PMDN, Tingkat Upah Minimum Propinsi adalah upah minimum propinsi yang ditetapkan tiap tahun, Tingkat Pendidikan yang tamatan D1 sampai dengan S1, Tingkat Kesempatan Kerja tahun sebelumnya.
3. Model Analisis
Fungsi persamaan dalam penelitian ini yakni :
KS = f (INDS,UPH,UNV,KSt-1) ... (1)
Fungsi diatas, dispesifikasikan kedalam model penyesuaian parsial (Partial Adjustment Model = PAM, Insukindro, 2000), langkah pertama membentuk hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel tidak bebas, atau ditulis :
KS* = aα + a1 INDS + a2 UPH + a3UNV
Dimana :
KS* = Permintaan kesempatan kerja yang diinginkan dalam jangka panjang
INDS = Nilai realisasi investasi sektor industri
UPH = Tingkat upah minimum Propinsi
UNV = Tingkat pendidikan yang tamatan D1 sampai dengan S1

HASIL PENELITIAN
1. Peranan Sektor Industri pada Perekonomian Sumatera Utara
Krisis yang melanda Indonesia dan juga tentunya Sumatera Utara membuat sektor industri Sumatera Utara terpuruk hingga mengalami penurunan nilai tambah hingga 16,56 persen pada tahun 1998 (BPS Sumut, 2003). Untuk memperbaiki itu semua, maka sektor industri sangat membutuhkan modal yang ditanamkan oleh investor, baik investor lokal (PMDN) maupun investor asing (PMA), yang bertujuan untuk menggerakkan kegiatan produksinya.
Berdasarkan data yang ada, sebelum terjadinya krisis ekonomi tepatnya semenjak tahun 1994, sektor industri pengolahan berhasil menggeser peranan sektor pertanian diurutan pertama dalam pembentukan PDRB Sumatera Utara. Akan tetapi pada tahun 1999, peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Sumatera Utara kembali mengalami penurunan dan kembali diambil alih perannya oleh sektor pertanian.
Pada tahun 1998, peranan sektor industri pengolahan sebesar 29,42 persen masih lebih besar daripada peranan sektor pertanian yang berkontribusi sebesar 25,44 persen terhadap perekonomian Sumatera Utara. Namun pada tahun 1999, kontribusi sektor industri mengalami penurunan menjadi sekitar 27,13 persen dan sektor pertanian berkontribusi menjadi sekitar 30,62 persen. Setelah itu, kontribusi sektor industri terus mengalami penurunan menjadi sekitar 27,50 persen dan sektor pertanian mengalami peningkatan menjadi sekitar 27,71 persen pada tahun 2004 (BPS Sumut, 2004).
Tabel 2. Perkembangan PDRB Sektor Industri Pengolahan Sumatera Utara Menurut Sub Sektor (Miliar Rupiah)
Sub Sektor Harga Berlaku Harga Konstan
2002 2003 2002 2003
Industri Migas 204,58
(0,87) 228,72
(0,91) 26,31
(49,86) 27,56
(4,76)
• Pengilangan Minyak Bumi 204,58
(0,87) 228,72
(0,91) 26,31
(49,86) 27,56
(4,76)
• Gas Alam Cair - - - -
Industri Non Migas 22.996,72
(99,12) 24.625,23
(99,09) 5.639,64
(4,94) 5.876,57
(4,20)
• Makanan, Minuman, dan Tembakau 10.050,36
(43,32) 10.870,96
(43,74) 2.674,34
(5,33) 2.822,86
(5,55)
• Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 2.440,67
(10,52) 2.459,71
(9,90) 679,61
(4,67) 688,11
(1,25)
• Barang dari Kayu dan Hasil Hutan lain 1.691,71
(7,29) 1.748,76
(7,04) 435,35
(-0,81) 436,34
(0,23)
• Kertas dan Barang Cetakan 276,48
(1,19) 285,50
(1,15) 124,68
(8,01) 126,11
(1,14)
• Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet 4.299,19
(18,53) 4.836,47
(19,46) 816,05
(4,10) 876,90
(7,46)
• Semen dan Barang bukan Logam 1.042,13
(4,49) 1.113,66
(4,48) 267,90
(9,47) 271,19
(1,23)
• Logam Dasar Besi dan Baja 1.101,29
(4,35) 1.052,03
(4,23) 298,49
(6,19) 298,72
(0,08)
• Alat Angkut, Mesin, dan Peralatan 1.738,86
(7,49) 1.779,82
(7,16) 255,49
(6,50) 258,98
(1,37)
• Barang lainnya 447,01
(1,93) 478,32
(1,92) 87,73
(6,84) 97,36
(10,98)
Industri Pengolahan 23.201,30
(100) 24.853,95
(100) 5.665,95
(5,08) 5.904,13
(4,20)
Sumber : BPS, Laporan Perekonomian Sumut tahun 2003
Setelah terbukti sektor industri dan sektor riil tidak cukup tangguh bertahan semenjak krisis melanda, maka sektor pertanian pun kembali diandalkan sebagai primadona yang diharapkan dapat mengangkat kembali baik perekonomian nasional maupun perekonomian Sumatera Utara. Seperti yang telah dirumuskan oleh pemerintah yang menyatakan bahwa “perekonomian Indonesia berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris”.
Dalam sektor industri pengolahan sendiri, sub sektor industri non migas memberikan andil yang paling besar yaitu sekitar 99,09 persen dari keseluruhan nilai tambah sektor industri pengolahan di Sumatera Utara pada tahun 2002, sedangkan sisanya 0,91 persen merupakan sumbangan dari sub sektor industri migas. Dari 99,09 persen sumbangan sub sektor industri non migas tersebut, 43,74 persennya merupakan berasal dari industri makanan, minuman, dan tembakau. Sektor industri non migas lain yang besar sumbangannya terhadap nilai tambah sektor industri pengolahan adalah industri pupuk, kimia, dan barang dari karet dan industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki yang memberikan sumbangan sebesar 19,46 persen dan 9,90 persen.
Jika dilihat dari laju pertumbuhannya, pertumbuhan sektor industri pengolahan terus mengalami peningkatan selama tahun 2002 – 2003. Setelah mengalami kontraksi minus 16,56 persen pada tahun 1998, sektor ini mulai merangkak naik sampai tahun 2003. Meskipun lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2002 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,08 persen, pertumbuhan sektor ini pada tahun 2003 mencapai 4,20 persen. Pertumbuhan ini umumnya ditunjang oleh sub sektor industri non migas yang juga tumbuh sebesar 4,20 persen, dengan golongan industri pupuk, kimia, dan barang dari karet yang mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu sebesar 7,46 persen. Sementara itu, untuk sub sektor industri migas juga mengalami pertumbuhan sebesar 4,76 persen pada tahun 2003 dan mengalami penurunan yang cukup tajam jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan sub sektor tersebut pada tahun 2002 yang mengalami pertumbuhan sebesar 49,86 persen.

2. Perkembangan Investasi pada Sektor Industri di Sumatera Utara
Investasi atau penanaman modal merupakan langkah awal bagi kegiatan pembangunan ekonomi di suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa investasi sangat diperlukan oleh setiap negara untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi maupun untuk meningkatkan lapangan kerja. Dinamika investasi sangat mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomiannya, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim usaha yang dapat menggairahkan investasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, setiap saat pemerintah berusaha secara intensif menggalakkan kegiatan promosi untuk menarik investor asing agar dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakannya berulang kali memfasilitasi para investor agar lebih giat melakukan investasi, antara lain dengan diperlonggarnya kepemilikan saham oleh para pemodal asing dan makin terbukanya peluang usaha di Indonesia, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 1994 tentang pemilikan saham dalam rangka peningkatan arus modal asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).
Tabel 3. Perkembangan Investasi Total dan Investasi Sektor Industri di Sumatera Utara

Tahun Total Investasi
(Rp. Jutaan) Sektor Industri
(Rp. Jutaan) Kontribusi Sektor Industri (%)
1985 34082.72 18825.82 55.24
1986 631994.33 124454.50 19.69
1987 161531.28 58798.52 36.40
1988 396383.56 196942.10 49.68
1989 156311.55 116136.80 74.30
1990 578056.37 192956.70 33.38
1991 267199.28 225454.50 84.38
1992 341615.87 253077.10 74.08
1993 580685.41 280699.20 48.34
1994 461332.66 196782.80 42.66
1995 667847.74 106893.20 16.01
1996 396325.69 150026.10 37.85
1997 1153092.50 268487.00 23.28
1998 1198252.93 831271.10 69.37
1999 642621.53 186034.20 28.95
2000 936249.45 394994.40 42.19
2001 894757.51 309661.40 34.61
2002 793808.93 207792.10 26.18
2003 477623.20 135622.20 28.40
2004 164046.56 114419.40 69.75
Sumber : BPS Sumut, berbagai terbitan

Berdasarkan pada Tabel 4.2 di atas, investasi total yang dilakukan pihak swasta baik PMA maupun PMDN di Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang fluktuatif. Pada tahun 1985, total investasi yang masuk ke Sumatera Utara sebesar Rp.34,08 miliar dan mengalami peningkatan yang relatif besar yakni menjadi Rp.578,06 miliar pada tahun 1990, tetapi untuk kurun waktu 1985 – 1990 tersebut, perkembangan total investasi di Sumatera Utara mengalami perkembangan yang berfluktuatif.
Begitupun untuk kurun waktu tahun 1990 – 1995, perkembangan total investasi yang masuk ke Sumatera Utara masih mengalami perkembangan yang berfluktuatif, namun pada tahun 1995, total investasi yang masuk mengalami peningkatan menjadi Rp.667,85 miliar. Tetapi untuk kurun waktu krisis ekonomi yakni tahun 1997 – 1998, perkembangan total investasi baik invetasi asing (PMA) maupun investasi domestik (PMDN) di Sumatera Utara menunjukkan perkembangan yang meningkat yakni menjadi Rp.1.153,09 miliar dan Rp. 1.198,25 milyar. Selanjutnya pasca krisis ekonomi, yakni semenjak tahun 1999, perkembangan total investasi di Sumatera Utara mengalami penurunan hingga tahun 2004. walaupun puncak perkembangan investasi asing terjadi pada tahun 1990 hingga mencapai US$ 531,02 juta atau setara dengan Rp.1.012 miliar untuk kurs ketika itu. Sedangkan untuk investasi domestik mengalami puncaknya pada tahun 1986 mencapai sebesar Rp.603,18 miliar.
Sementara itu, untuk investasi yang masuk pada sektor industri di Sumatera Utara selama kurun waktu 1985 – 2004 menunjukkan kontribusinya yang relatif cukup besar terhadap total investasi yang masuk ke Sumatera Utara dengan rata-rata kontribusinya sebesar 44,74 persen. Namun investasi yang masuk pada sektor industri yang memberikan kontribusi relatif besar terhadap total investasi di Sumatera Utara adalah pada tahun 1991 yakni sebesar 84,38 persen. Sedangkan tahun 1989 dan 1992, investasi pada sektor industri memberikan kontribusi sebesar 74 persen terhadap total investasi yang masuk ke Sumatera Utara. Untuk tahun 1998, dimana Indonesia termasuk Sumatera Utara sedang dilanda krisis ekonomi, tetapi kontribusi investasi pada sektor industri terhadap total investasi yang ada di Sumatera Utara relatif besar yakni 69,37 persen dan besarnya kontribusi ini sama dengan besarnya kontribusi investasi sektor industri terhadap total investasi di Sumatera Utara pada tahun 2004.
Dengan demikian, selama kurun waktu 1985 – 2004, besarnya investasi pada sektor industri telah memberikan kontribusi yang besar pada total investasi yang masuk di Sumatera Utara dengan rata-rata kontribusi per tahunnya sebesar 44,74 persen. Hal ini menunjukkan bahwa lapangan usaha pada sektor industri menjadi primadona untuk berinvestasi di Sumatera Utara baik yang dilakukan oleh investor lokal maupun investor asing dan sisanya terbagi untuk sektor-sektor ekonomi lainnya selama kurun waktu penelitian.
4. Perkembangan Upah Minimum Propinsi (UMP) Sumatera Utara
Produktivitas tenaga kerja tidak terlepas dari terpenuhinya kebutuhan fisik minimum atau kebutuhan hidup minimum pekerja maupun keluarganya. Kebutuhan hidup minimum menjadi dasar perhitungan upah minimum propinsi yang harus diberikan kepada pekerja. Upah adalah salah satu sarana upaya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu kebijakan pengupahan harus diperhitungkan lebih hati-hati, karena selain sangat berkaitan dengan produktivitas dan kualitas hasil produksi, juga merupakan faktor utama dalam menumbuhkan daya saing. Berikut ini perkembangan upah minimum propinsi di Sumatera Utara seperti pada gambar berikut ini :
Sumber : Disnaker Prop.Sumut
Gambar 1. Perkembangan Upah Minimum Propinsi Sumatera Utara Tahun 1985-2004

Berdasarkan Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa perkembangan upah minimum propinsi di Sumatera Utara selama kurun waktu 1985 – 2004 menunjukkan trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun, walaupun peningkatannya dari tahun ke tahun relatif kecil. Untuk menjaga kepentingan pihak pekerja dan manajemen perusahaan, sebaiknya bahwa tingkat upah minimum propinsi ini perlu diperhatikan agar tercipta hubungan industri yang baik dan harmonis antara pekerja dan menejemen perusahaan guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan perkembangan ekonomi. Hal ini secara teoritis ada kaitannya antara tingkat pendidikan tenaga kerja dan tingkat upah yang diterima pekerja. Menurut Stligisz dan Shapiro (1998) menyatakan bahwa tingginya tingkat upah akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya dengan perkembangan industri yang demikian pesat, terutama dalam perubahan cara produksi, akan membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi skill labour dan trained labour.

PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja
Melalui penelitian ini, penulis mencoba untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara dengan metode Ordinary Least Square (OLS) selama kurun waktu 1985 - 2004. Analisis yang dilakukan secara sektoral atau masing-masing sektor dan keseluruhan sektor yang ada di Sumatera Utara. Berikut ini hasil estimasi seperti pada Tabel di bawah ini.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja pada Sektor Industri di Sumatera Utara dengan Metode OLS.

LKS =2,5321+0,0022 LINDS-0,0338 LUPH+0,0262 LUNV+0,8198 LKS(-1)
(0,0010) (0,0153) (0,0142) (0,1333)
(2,0537) (-2,205) (1,837) (6,146)
R2 = 0,8118 F-stat = 15,0927 DW stat = 2,3612

Keterangan :
Angka dalam kurung adalah nilai Std. Error
Angka dalam kurung (tanda bintang) adalah nilai t - statistik

Berdasarkan hasil estimasi di atas, diperoleh nilai Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0,8118 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam persamaan tersebut, yakni investasi pada sektor industri (LINDS), tingkat upah minimum propinsi (LUPH), tingkat pendidikan tenaga kerja tamatan D1 sampai dengan S1 (LUNV), dan tingkat kesempat-an kerja tahun sebelumnya (LKSt-1) cukup mampu menjelaskan variasi kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara (LKS) sebesar 81,18 persen selama kurun waktu penelitian, sedangkan sisanya sebesar 18,82 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.
Sementara itu, bila dianalisis secara simultan (serentak) dari masing-masing variabel bebasnya, maka pengaruhnya terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai F-statistik sebesar 15,093 yang lebih besar dari F-tabel (5,040) pada level 1 persen {F statistik (15,093) > F tabel (5,040)} dengan nilai probabilitasnya sebesar 0,0001.
Variabel investasi pada sektor industri memberikan pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 90 persen dengan nilai koefisien regresi yang relatif kecil sebesar 0,002. Nilai koefisien regresi yang positif ini memberi arti bahwa setiap terjadi peningkatan investasi pada sektor industri di Sumatera Utara sebesar 1 juta rupiah, ceteris paribus, maka akan memberikan dampak pada peningkatan kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara sebesar 0,002 ribu jiwa atau 2 jiwa selama periode 1985 - 2004. Hasil temuan ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara variabel investasi pada sektor industri dan kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara, ceteris paribus.
Untuk tingkat upah minimum propinsi tenaga kerja di Sumatera Utara menunjukkan kontribusi yang negatif dan signifikan pengaruhnya secara statistik terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 95 persen dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,034. Dengan demikian dapat diartikan apabila tingkat upah minimum propinsi para pekerja pada sektor industri meningkat sebesar seribu, ceteris paribus, maka akan berdampak pada menurunnya kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara sebesar 0,034 ribu jiwa atau 34 jiwa selama periode 1985 - 2004. Hasil empiris ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara tingkat upah minimum propinsi tenaga kerja pada sektor industri dan kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara, ceteris paribus. Sementara itu, untuk variabel tingkat pendidikan tenaga kerja tamatan D1 sampai dengan S1 di Sumatera Utara memberikan kontribusi yang positif dan signifikan pengaruhnya secara statistik terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 90 persen selama kurun waktu 1985 – 2004 dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,026. Nilai koefisien regresi ini memberi arti bahwa semakin banyak tingkat pendidikan tenaga kerja tamatan D1 sampai dengan S1 yang bekerja di sektor industri sebesar 1 jiwa, ceteris paribus, maka akan berdampak pada meningkatnya kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara sebesar 0,026 ribu jiwa atau 26 jiwa. Hasil empiris ini sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara tingkat pendidikan tenaga kerja tamatan D1 sampai dengan S1 dan kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara, ceteris paribus.
Sedangkan untuk variabel tingkat kesempatan kerja tahun sebelumnya di Sumatera Utara memberikan pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tahun berjalan dengan tingkat kepercayaan 99 persen selama kurun waktu 1985 – 2004 dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,820. Nilai koefisien regresi ini memberi arti bahwa dengan meningkatnya kesempatan kerja tahun sebelumnya pada sektor industri di Sumatera Utara sebesar 1 jiwa, ceteris paribus, maka akan berdampak pada meningkatnya kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tahun berjalan sebesar 0,820 ribu jiwa atau 820 jiwa. Hasil empiris ini sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara tingkat kesempatan kerja tahun sebelumnya pada sektor industri dan kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara pada tahun berjalan, ceteris paribus.

KESIMPULAN
1. Kesemua variabel bebas sesuai dengan hipotesis dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara. Untuk variabel investasi pada sektor industri memberikan pengaruh positif dan signifikan pada α = 10 persen terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara.
2. Untuk variabel tingkat upah minimum propinsi tenaga kerja di Sumatera Utara memberikan pengaruh negatif dan signifikan pada α = 5 persen terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara. Begitupun untuk variabel tingkat pendidikan tenaga kerja tamatan D1 sampai dengan S1 berpengaruh positif dan signifikan pada α = 10 persen terhadap kesempatan kerja pada sektor industri di Sumatera Utara selama kurun waktu 1985 – 2004. Sedangkan variable tingkat kesempatan kerja tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif dan signifikan pada α = 1 persen terhadap kesempatan kerja tahun berjalan pada sektor industri di Sumatera Utara.
3. Bahwa variabel kesempatan kerja tahun sebelumnya dalam jangka panjang memberi pengaruh paling dominan dalam pertumbuhan lapangan kerja sektor industri di Sumatera Utara pada tahun berjalan.

SARAN
1. Untuk meningkatkan kesempatan kerja pada sektor industri maka pemerintah daerah harus berupaya untuk meningkatkan kegiatan promosi investasi kepada para investor lokal maupun investor asing agar mau berinvestasi di Sumatera Utara. Untuk mendukung itu diperlukan kebijakan pemerintah yang mampu memberikan kepastian berusaha dan menciptakan iklim investasi yang kondusif, seperti adanya kepastian hukum, birokrasi yang transparan, UU perburuhan, dan kondisi keamanan yang baik.
2. Peningkatan upah minimum propinsi harus selalu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan perekonomian serta diawasi dalam pelaksanaannya sehingga dapat merangsang produktivitas tenaga kerja sehingga akan meningkatkan daya beli masyarakat.
3. Pendidikan bukan hanya memberantas buta huruf atau memberi keterampilan dasar tetapi bertujuan pula menyediakan tenaga kerja yang terampil, berpendidikan, professional dan fleksibel secara tepat dan cepat sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Untuk hal tersebut dibutuhkan dukungan dunia usaha swasta, dimana program link and match (dunia pendidikan dan dunia kerja nyata) perlu diupayakan pengkajian yang lebih cermat.






















































DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2003, Laporan Perekonomian Sumatera Utara 2003, Medan.
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2004, Beberapa Indikator Penting Propinsi Sumatera Utara 2004, Medan.
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka Tahun 1985-2004, Medan.
Depnakertrans, 2004, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004–2009 http://www.Nakertrans.go.id\.
Elfindri, dan Nasri, Bachtiar, 2004, Ekonomi Ketenagakerjaan, Universitas Andalas, Padang.
Hill, Roderick, 1995, Trade Shocks and Employment Change in Canadian Manufacturing Industries, International Economic Journal Volume 9 Number 2, Summer.
Insukindro, Akmad, Makhfatih, dan Maryatmo, 2000, Dasar-dasar Ekonometrika Pelatihan Dasar untuk Pegawai Bank Indonesia, Program Studi MEP dan Msi UGM, Yogyakarta.

PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL DAN RESIKO SISTEMATIK TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA

PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL DAN RESIKO SISTEMATIK
TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR
YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA

Zulkifli Harahap, Agusni Pasaribu

Abstrak : Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor fundamental yang diwakili rasio ROA, DER dan BVS serta resiko sistematis yang diwakili Beta saham terhadap harga saham perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, baik secara parsial maupun secara simultan. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi kepada Investor agar dapat melakukan investasi dengan lebih bijaksana dengan melakukan pengamatan terhadap kinerja emiten yang didasarkan pada informasi laporan keuangan dan harga saham, Bagi Emiten dapat mengamati kinerja perusahaannya dengan melihat pengaruh dari perubahan harga saham dan hasil analisis rasio keuangan, Sedangkan bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan mengenai penelitian pengaruh rasio keuangan dan risiko sistematis terhadap harga saham. Objek penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarja sejak tahun 2002 – 2005 serta aktif menerbitkan laporan keuangan selama tahun pengamatan yaitu sebanyak 120 perusahaan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil dokumentasi laporan keuangan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan diolah menggunakan uji statistik regresi linier berganda dengan alat SPSS 11.5. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa faktor fundamental dan resiko sistematis secara simultan mempengaruhi harga saham, namun secara parsial BVS dan Beta saham yang berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham, sedangkan ROA dan DER tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham.

Kata kunci : faktor fundamental, resiko sistematis, harga saham sektor manufaktur.


PENDAHULUAN
Salah satu fungsi utama pasar modal adalah sebagai sarana untuk memobilisasi dana yang bersumber dari masyarakat ke berbagai sektor yang melaksanakan investasi. Syarat utama yang diinginkan oleh investor untuk bersedia menyalurkan dananya melalui pasar modal adalah perasaan aman akan investasinya. Usman dan Barus (1989) mengatakan Perasaan aman ini diantaranya diperoleh karena para investor mendapatkan informasi yang jelas, wajar, dan tepat waktu sebagai dasar dalam pengambilan keputusan investasinya,
Pasar modal memiliki sejumlah sifat khas apabila dibandingkan dengan pasar yang lain. Salah satu sifat khas adalah adanya ketidak pastian akan kualitas produk yang ditawarkan. Untuk mengurangi ketidak pastian tersebut investor memerlukan informasi akuntansi untuk menilai resiko yang melekat dalam investasi dan memperkirakan return yang akan diperoleh dari investasi tersebut.
Laporan keuangan sebagai hasil akhir dari proses akuntansi dirancang untuk menyediakan kebutuhan informasi bagi calon investor, kreditor dan pemakai eksternal lainnya untuk pengambilan keputusan investasi, kredit dan keputusan lain. Serangkaian pengujian telah dilakukan untuk menguji reaksi pasar terhadap pengumuman laporan keuangan. Penelitian eksploratif yang dilakukan oleh Handa P. & Linn S. C. (1993) menunjukkan bahwa laporan keuangan masih dipandang sebagai informasi yang cukup penting oleh para investor di Bursa Efek.
Analisis rasio keuangan merupakan instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan, yang ditujukan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan trend pola perubahan tersebut, untuk kemudian menunjukkan resiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan. Makna dan kegunaan rasio keuangan dalam praktek bisnis pada kenyataannya bersifat subjektif tergantung kepada untuk apa suatu analisis dilakukan dan dalam konteks apa analisis tersebut diaplikasikan Helfert (1991).
Analisis Fundamental secara terperinci lebih memfokuskan pada laporan keuangan perusahaan. Tujuannya adalah untuk mendeteksi perbedaan harga pasar sekuritas dengan nilai instrinsiknya. Berkaitan dengan hal ini Fuller (1987) mengemukakan bahwa dengan pendekatan fundamental, setiap sekuritas mempunyai nilai instrinsik yang dapat ditentukan berdasarkan fundamental perusahaan, misalnya; laba, deviden, struktur modal, ratio dan potensi pertumbuhan perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai instrinsik adalah nilai fundamental yang mencerminkan nilai perusahaan yang sebenarnya, James C (2000).
Faktor fundmental yang sering digunakan untuk memprediksi harga saham atau return saham adalah rasio keuangan dan rasio pasar. Rasio keuangan yang berfungsi untuk memprediksi harga saham antara lain : ROA (Return On Assets), DER (Debt Equity Ratio) , BVS ( Book Value per Share). Rasio pasar yang sering dikaitkan dengan harga atau return saham adalah DER (Price Book Value). Resiko Sistematis adalah faktor- faktor resiko yang mempengaruhi pasar secara keseluruhan, sedangkan menurut Sparta (2000) mendefinisikan risiko sistematis sebagai bagian dari perubahan aktiva yang dapat dihubungkan kepada faktor umum yang juga disebut sebagai risiko pasar atau risiko yang tidak dapat dibagi. Menurut Robert Ang (1997) Risiko sistematis merupakan tingkat minimum risiko yang dapat diperoleh bagi suatu portofolio melalui diversifikasi sejumlah besar aktiva yang dipilih secara acak. Risiko tidak sistematis adalah risiko yang unik bagi perusahaan, seperti pemogokan kerja oleh pekerja perusahaan, bencana alam yang menimpa perusahaan, dan lain-lain sejenisnya.
Besarnya resiko sistematis dapat diukur dengan indeks resiko sistematis yang sering disebut Beta saham. Beta saham mengukur sensitivitas pengembalian saham dengan perubahan pengembalian dalam portofolio pasar. Beta portofolio adalah rata-rata tertimbang dari setiap beta saham dalam portofolio tersebut, Francis (1988)

PERUMUSAN MODEL
Untuk keperluan penelitian ini penulis menggunakan faktor yang berkaitan dengan earnings, dan risiko ( risiko sistematis ), dengan menggunakan model :
Harga saham P0 = f { ROA, DER, BVS, RISK }
Model ini dianalisis dengan analisa regresi yang menggunakan persamaan kuadrat terkecil (least square regression analysis), sehingga model yang akan dipakai adalah sebagai berikut :
P0 = a + b1 ROA - b2 DER + b3 BVS - b4 Beta Saham+ e
Dimana :
P0 adalah perkiraan harga saham
a adalah konstanta
b1 – b4 adalah koefisien regresi untuk masing-masing variabel
ROA adalah Return On Assets
DER adalah Debt to Equity Ratio
BVS adalah Book Value per Share
e adalah kesalahan pengganggu
PENGUJIAN NORMALITAS DAN ASUMSI KLASIK
Sebelum melakukan analisis dengan menggunakan model yang disampaikan diatas, maka sesuai dengan syarat metode Ordinay Least Square (OLS), terlebih dahulu akan dilakukan pengujian normalitas dan asumsi klasik yang menurut Gujarati, alih bahasa Sumarno Zain (1995) akan meliputi pengujian multicollinearity, heteroschedasticity, dan autocorrelation.

PENGUJIAN MODEL
Setelah pengujian asumsi klasik dilakukan dan diuji kebenarannya, maka dalam analisis juga akan dilakukan uji model (goodness of fit) dengan data yang ada sehingga diyakini bentuk persamaan/model yang pasti.
Dari persamaan dengan model tersebut akan dapat dihitung R2 atau coefficient of determination yang menunjukkan persentase dari variasi variabel harga saham yang mampu dijelaskan oleh model. Selanjutnya, dengan membandingkan besarnya nilai R2 untuk masing-masing variabel rasio keuangan dapat diketahui faktor terpenting atau dominan yang menentukan pengaruhnya kepada harga saham.

PENGUJIAN HIPOTESIS
Setelah dilakukan uji asumsi klasik terhadap data, selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Untuk membuktikan hipotesis pertama dan kedua maka digunakan alat uji sebagai berikut :

1. Uji - t
Nilai-nilai koefisien regresi dalam persamaan regresi merupakan hasil perhitungan berdasarkan sampel yang terpilih. Oleh karena itu, disamping uji-uji yang dilakukan diatas, juga dilakuan uji-t untuk masing-masing nilai koefisien regresi dalam persamaan regresi. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
2. Uji – F
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh secara bersama-sama variabel independent terhadap variabel dependent. Pengambilan keputusannya dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel. Bila nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel maka dapat disimpulkan bahwa variabel independent dalam model mempengaruhi variabel indepen.

PERUSAHAAN SAMPEL.
Pada penelitian ini, dari jumlah populasi peusahaan manufaktur yaitu 138 perusahaan, yang memenuhi kriteria (karakteristik) untuk dijadikan objek penelitian sebanyak 120 perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang terpilih karena memenuhi kreteria sampel, yaitu (1) Terdaftar (listing) di Bursa Efek Jakarta dalam periode 2002-2005, (2) Selalu melaporkan laporan keuangan triwulan pada tahun pengamatan.

DESKRIPSI VARIABEL
Penelitian ini mengamati 1 (satu) variabel terikat (Dependen Variable) yaitu variabel Harga Saham (Y) dan 4 (Empat) variabel bebas (Independen Variable) yaitu variabel Return On Investment/ROA (X1), variabel Debt to Equity Ratio/ DER (X2), variabel Book Value perShare/BVS (X3), dan variabel Beta Saham, (X4). Informasi semua variabel diambil berdasarkan laporan keuangan Triwulan selama tahun 2002 - 2005, yaitu sebanyak 15 laporan keuangan, karena pada tahun 2005 laporan keuangan pada Triwulan ke-empat belum terpublikasi.
Analisa Deskriptif semua variabel baik variabel bebas maupun variabel terikat adalah sebagai berikut:

Variabel Return On Assets/ ROA (X1)
Dari hasil olahan datadapat disimpulkan bahwa rata-rata ROA terbesar ada pada triwulan II tahun 2002 yaitu 0.136242, hal ini berarti pada triwulan II tahun 2002 kondisi rata-rata laba perusahaan sampel dibandingkan total aset mencapai nilai terbaik. Sedangkan nilai standart deviasi yang terbesar adalah pada Triwulan II tahun 2004 dengan nilai standart deviasi sebesar 0.459098. hal ini berarti bahwa pada Triwulan II tahun 2004 nilai ROA semua perusahaan sampel paling bervariasi dengan nilai terbesar 0.5730 dan yang nilai terkecil – 4, 64. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kondisi ROA perusahaan sampel sangat berfluktuasi.

Debt to Equity Ratio/ DER (X2).
Dari hasil olahan data pada tabel IV.3. dapat disimpulkan bahwa rata-rata DER terbesar ada pada triwulan IV tahun 2003 yaitu 8.0958, hal ini berarti pada triwulan IV tahun 2003 kondisi rata-rata ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar dalam bentuk hutang perusahaan sampel paling besar. Sedangkan nilai standart deviasi yang terbesar juga pada Triwulan IV tahun 2003 dengan nilai standart deviasi sebesar 57.60453. hal ini berarti bahwa pada Triwulan IV tahun 2003 nilai DER semua perusahaan sampel paling bervariasi dengan nilai terbesar 608.05 dan yang terkecil –7.15. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kondisi DER perusahaan sampel sangat berfluktuasi.

Book Value perShare/BVS (X3).
Dari hasil olahan data pada tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa rata-rata BVS terbesar ada pada triwulan IV tahun 2003 yaitu 1684.599, hal ini berarti pada triwulan IV tahun 2003 kondisi rata-rata nilai modal sendiri dibandingkan jumlah saham mencapai nilai terbaik. Sedangkan nilai standart deviasi yang terbesar adalah pada Triwulan I tahun 2002 dengan nilai standart deviasi sebesar 5923.99. hal ini berarti bahwa pada Triwulan II tahun 2003 nilai BVS semua perusahaan sampel paling bervariasi dengan nilai terbesar 1640.41 dan yang terkecil –10.917.33. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kondisi BVS perusahaan sampel sangat berfluktuasi.

Beta Saham (X4)
Dari hasil olahan data pada tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa rata-rata Beta Saham terbesar ada pada triwulan III tahun 2003 yaitu 11.466, hal ini berarti pada triwulan III tahun 2003 kondisi rata-rata Resiko saham perusahaan sampel paling besar. Sedangkan nilai standart deviasi yang terbesar adalah pada triwulan IV tahun 2002 dengan nilai standart deviasi sebesar 100.08. Hal ini berarti bahwa pada triwulan IV tahun 2002 nilai Beta saham semua perusahaan sampel paling bervariasi dengan nilai terbesar 998.63 dan yang terkecil –274.31. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kondisi Beta saham perusahaan sampel sangat berfluktuasi.

Harga Saham.
Dari hasil olahan data pada tabel 4.6. dapat disimpulkan bahwa rata-rata Harga Saham terbesar ada pada triwulan III tahun 2005 yaitu Rp. 3477.55, hal ini berarti pada triwulan III tahun 2005 kondisi rata-rata transaksi saham perusahaan sampel harganya paling besar. Sedangkan nilai standart deviasi yang terbesar adalah juga pada triwulan III tahun 2005 dengan nilai standart deviasi sebesar 8939.89. Hal ini berarti bahwa pada triwulan III tahun 2003 nilai harga saham semua perusahaan sampel paling bervariasi dengan harga saham terbesar Rp. 63.000 yaitu saham PT. Aqua Golden Missisipi Tbk dan yang terkecil Rp. 20 yaitu saham PT Kasogi Internasional Tbk. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kondisi harga saham perusahaan sampel sangat berfluktuasi.

Pengujian asumsi klasik
Setelah variabel harga saham (Y) ditransformasi menggunakan logaritma natural (LN) dan dilakukan first difference untuk semua variabel maka diperolehlah model persamaan regressi yang memenuhi semua asumsi klasik atau BLUE (Best Linear Unbiased Estimation).
(lnYt-lnYt-1) = 1-0+1(X1t-X1t-1)+2(X2t-X2t-1)+3(X3t-X3t-1)+4(X4t-X4t-1) + 
Maka :
Y* = *0 + 1X*1 + 2X*2 + 3X*3 + 4X*4 + 
Dimana :
Y* = (lnYt-lnYt-1)
*0 = 1-0
1X*1 = 1(X1t-X1t-1)
2X*2 = 2(X2t-X2t-1)
3X*3 = 3(X3t-X3t-1)
4X*4 = 4(X4t-X4t-1)

Setelah memenuhi asumsi klasik atau BLUE maka barulah persamaan tersebut dapat diinterpretasi dan dapat mencerminkan kondisi pengaruh Faktor Fundamental dan Resiko Sistematis terhadap harga Saham. Analisis uji asumsi klasik adalah sebagai berikut:

Normalitas.
Normalitas yang menggambarkan normal tidaknya sebuah distribusi data akan memepengaruhi jenis analisis data yang dipakai, dan regressi linear adalah alat analisis yang harus memenuhi asumsi ini. cara yang dapat digunakan untuk menentukan distribusi data normal atau tidak, adalah menggunkan histogram. Jika distribusi data dalam bentuk diagram batang mengikuti pola distribusi normal maka asumsi normalitas terpenuhi.
Gambar 1.
Histogram Normalitas

Multikollinearitas
Uji ini dilakukan untuk menunjukkan ada tidaknya korelasi yang besar diantara variable bebas. Untuk mendeteksi adanya gejala multikolierinitas dapat dilakukan dengan uji collinearity statistic, Pedoman pengambilan keputusan sebagai berikut :
1. Jika Variance Inflation Factor (VIF) > 5 aka terdapat persoalan multikolierinitas diantara variable bebas.
2. Jika Variance Inflation Factor (VIF) < 5 maka tidak terdapat persoalan multikolierinitas diantara variable bebas. Nilai VIF untuk kesemua variabel dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut :

TABEL 2. UJI ULTIKOLLINEARITAS COEFFICIENTS

Model VIF
1 (Constant)
ROA 1.000
DER 1.000
BVS 1.001
BETA 1.001
Dependent Variable: Harga Saham

Dari Tabel diatas, terlihat bahwa variabel independen mempunyai angka VIF dibawah angka 5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa regresi yang dipakai tidak terdapat persoalan multikolinieritas.

Autokorelasi
Asumsi ini dapat dilihat menggunakan indikator nilai durbin watson. Niai durbin watson yang menyatakan tidak terjadinya autokorelasi adalah jika du



TABEL 3. UJI AUTOKORELASI
Durbin-Watson
Model
1 1.877

Predictors: (Constant), BETA, DER, ROA, BVS Dependent Variable: HARGA SAHAM

Heterokedastisitas.
Uji ini dilakukan untuk menunjukkan penyebaran varians gangguan.heteroskedastisitas terjadi bila varians gangguan berbeda dari satu observasi ke observasi lainnya (Ananta, 1987). Deteksi dapat dilakukan dengan menggunakan uji metode grafis yaitu dengan melihat ada tidaknya pola tertentu yang tergambar pada scattplot. Pedoman pengambilan keputusan :
a. Jika ada pola tertentu maka terjadi heterokedasitas.
b. Jika tidak ada pola tertentu maka tidak terjadi heterokedasitas.

Gambar 2
Scatterplot Heterokedastisitas

Pada gambar di atas dapat terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak, tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun dibawah angka nol pada sumbu Y. hal ini berarti tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai.
Analisa Persamaan Regresi
Analisa persamaan regresi variabel independen terhadap variabel dependen dapat diketahui pada tabel 4.13.

TABEL 8. KOEFISIEN REGRESI

Unstandardized Coefficients
Model B
1 (Constant) .818
ROA 8.258E-03
DER -3.173E-04
BVS 1.388E-04
BETA -1.142E-03
Dependent Variable: HARGA SAHAM

Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model analisis regresi beganda antara variabel X terhadap Y dapat diformulasikan dalam model persamaan sebagai berikut :

lnY = 0,818 + 0,008258 X1 – 0,000317 X2 +
0,000138 X3 – 0,00114 X4 + e

Dari hasil persamaan regresi linier berganda tersebut, masing-masing variabel independen yang berpengaruh secara signifikan dapat diinterprestasikan pengaruhnya terhadapa Harga Saham sebagai berikut :
1. BVS (X3) memiliki koefisien bertanda positif sebesar 0.000138, hal tersebut berarti apabila nilai koefisien regresi variabel lainnya tetap (tidak berubah), maka perubahan BVS sebesar Rp. 1 perlembar saham akan meningkatkan Harga Saham sebesar Rp. 1.00032.
2. BETA (X4) memiliki koefisien bertanda negatif sebesar 0.00114, hal tersebut berarti apabila nilai koefisien regresi variabel lainnya tetap (tidak berubah), maka perubahan BETA sebesar 1% akan menurunkan Harga Saham sebesar Rp. 1.0026.



KESIMPULAN
1. Hasil dari pengujian untuk hipotesis pertama (H1), Pengujian parsial antara variabel ROA terhadap Harga Saham. Dari hasil pembahasan membuktikan bahwa ROA berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperoleh hasil signifikan t pengaruh variabel ROA sebesar 0.000, dimana signifikan t lebih kecil dari α = 0,05. hal tersebut berarti bahwa H01 ditolak sedangkan Ha1 diterima.
2. Hasil Pengujian untuk hipotesis kedua (H2), pengujian parsial antara variabel DER terhadap Harga Saham. Dari hasil pembahasan mnembuktikan bahwa DER berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperoleh hasil signifikan t pengaruh variabel DER sebesar 0.005, dimana signifikan t lebih kecil dari α = 0,05. hal tersebut berarti bahwa H01 ditolak sedangkan Ha1 diterima.
3. Hasil Pengujian untuk hipotesis ketiga (H3), pengujian parsial antara variabel BVS terhadap Harga Saham. Dari hasil pembahasan membuktikan bahwa BVS berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperoleh hasil signifikan t pengaruh variabel BVS sebesar 0.000, dimana signifikan t lebih kecil dari α= 0,05. hal tersebut berarti bahwa H01 ditolak sedangkan Ha1 diterima.
4. Hasil Pengujian untuk hipotesis keempat (H4), pengujian parsial antara variabel Beta saham terhadap Harga Saham. Dari hasil pembahasan mnembuktikan bahwa Beta Saham berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperoleh hasil signifikan t pengaruh variabel Beta Saham sebesar 0.000, dimana signifikan t lebih kecil dari α = 0,05. hal tersebut berarti bahwa H01 ditolak sedangkan Ha1 diterima.
5. Hasil Pengujian untuk hipotesis kelima (H5), pengujian secara simultan antara variabel ROA, DER, BVS dan Beta saham terhadap Harga Saham. Dari hasil pembahasan mnembuktikan bahwa Faktor Fundamental (ROA, DER, BVS) dan Resiko Sistematis (Beta Saham) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperoleh hasil signifikan F sebesar 0.000, dimana signifikan t lebih kecil dari α = 0,05. hal tersebut berarti bahwa H01 ditolak sedangkan Ha1 diterima.

SARAN.
1. Investor yang ingin investasi saham di sektor Manufaktur, hendaknya mempertimbangkan faktor fundamental dan psikologi pasar saham secara umum.
2. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbesar jumlah sampel beberapa sektor industri lainnya atau seluruh emiten yang terdaftar. Sehingga dapat mewakili seluruh industri yang ada di BEJ.
3. Menambah jumlah variabel, sehingga dengan banyaknya jumlah variabel yang dimasukkan akan membuat temuan baru yang lebih baik lagi dan bermanfaat untuk kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan.
4. Hasil penelitian ini mengandung problem autokorelasi, maka pada penelitian selanjutnya sebaiknya problem tersebut diharapkan tidak terjadi dengan menambah lagi jumlah sampel penelitian dan memperpanjang periode penelitian





DAFTAR PUSTAKA
Affandi Untung dan Siddharta Utama. 1998, “Uji Efisiensi Bentuk Setengah Kuat pada Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, No. 03, Maret, hal: 42 – 47.
Arif dan Pratisko. 2004, Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Penerbit Elex Media Computindo, Jakarta.
Consuelo, Jesus, Twila, Bella dan Gabriel, 1993, Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan, Penerbit UI Press, Jakarta.
Clarkson (1996), “On The Diversification, Observability, and Measurement of Estimation Risk”, Journal of Financial and Quantitative Analysis, vol. 31 (1), pp. 69-84.
Fabozzi. 1999, Teori Portopolio dan Pasar Modal, Buku 1, penerbit Erlangga, Bandung
Fakhruddin Hendy M. dan Darmadji Tjiptono, 2000, Pasar Modal Pendekatan Tanya Jawab, Edisi Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Francis, Jack C. 1988, Management of Investment, 2nd ed., International Editions Financial Series, Singapore: McGraw Hill.
Fuller, Russel J. and Farrell James L.Jr. 1987, Modern Investment and Security Analysis, International Editions Financial Series, Singapore: McGraw Hill.
Gunawan dan Bandi. 2000. “Analisis Kandungan Informasi Laporan Arus Kas". Simposium Nasional Akuntansi III: Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Pendidik. September: 697 – 718.
Ghozali Imam. 2001, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Gitman, Lawrence J. 2003, Principles of Managerial Finance, 10th ed., International Editions Financial Series, Boston: Addison-Wesley.
Halim Abdul dan Sulistyo. 1999, “Aplikasi Clustering, Manova, dan Transformasi Data atas Data Pasar Modal Indonesia”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 1, No. 3, Desember: 221-236.
Handa, P. & Linn, S. C. 1993, Arbitrage Pricing with Estimation Risk, Journal of Financial and Quantitative Analysis, vol. 28 (1), hal. 81-100.
Haruman Tendi, Stevanus & Maya. 2005 “Pengaruh Faktor Fundamental dan Resiko Sistematis terhadap Tingkat Pengembalian Saham BEJ” Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, Nopember Hal, 26-37
Helfert. 1991, “The Relation Among Capital Markets, Financial Disclosure, Production Efficiency, and Insider Trading”, Journal of Accounting Research, vol. 34 (1), hal.1-22
Jogiyanto. 1998. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta.
James C, Van Horne, 2005. Fundamental Financial Manajement, 12th ed. Buku 1 edisi 12, Penerjemah Fitriasari Dewi et,al. Penerbit Salemba empat – Jakarta.
Njo Anastasia, 2003. “Analisis Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik terhadap Harga Saham Property di BEJ”. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 2, Nopember 2003: 123 - 132
Nur Fadjrih Asyik. 1999. "Tambahan Kandungan Informasi Rasio Arus Kas". Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 2, No. 2, Juli: 230 – 250.
Parawiyati, Ambar Woro Hastuti dan Edi Subiyantoro. 2000. "Penggunaan Informasi Keuangan untuk Memprediksi Keuntungan Investasi bagi Investor di Pasar Modal". Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No. 2, Juli: 214 – 228.
Parawiyati dan Baridwan Zaki. 1998. "Kemampuan Laba dan Arus Kas dalam Memprediksi Laba dan Arus Kas Perusahaan Go-Publik di Indonesia". Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 1, No. 1, Januari: 1 – 11.
Ang Robbert. 1997. Buku Pintar: Pasar Modal Indonesia. Penerbit Mediasoft Indonesia.
Singgih Santoso. 1999. SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Penerbit PT Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia. Jakarta.
Sillalahi. 1991. "Analisis Pengaruh Beberapa Rasio Keuangan Terhadap Harga Saham: Kasus Industri Manufaktur di BEJ" Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 2, No. 3, Januari: 21-33
Sparta. 2000. “ Fundamental & Thecnical factor Analys” The accounting Review, vol. 72 (3), hal. 323-349.
Husnan Suad. 1998. Dasar-dasar Teori Portofolio dan analisis Sekuritas. Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Suharyadi, Purwanto. 2004. Statistika Untuk Ekonomi & Keuangan Modern, Buku I dan buku II, penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Suprodjo. 1990. Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapannya, Buku 1, edisi 12, Penerbit BPFE, Yogyakarta
Syahib Natarsyah. 2000. "Analisis Pengaruh Beberapa Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik Terhadap Harga Saham: Kasus Industri Barang Konsumsi yang Go-Public di Pasar Modal Indonesia". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 15, No. 3: pp. 294-312.
Teguh Prasetyo. 2000. "Analisa Rasio Keuangan dan Nilai Kapitalisasi Pasar sebagai Prediksi Harga Saham di BEJ pada Periode Bullish dan Bearish". Simposium Nasional Akuntansi III. IAI-Kompartemen Akuntan Pendidik. Agustus: pp. 652-695.
Tri Joko Prasetyo. 2000. “Transfer Informasi Intra-Industri Atas Pengumuman Laba". Simposium Nasional Akuntansi III: Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Pendidik. September: 506 – 521.
Trisnawati. 1999, "Pengaruh Faktor Fundamental dan faktor eksternal Terhadap Resiko saham: Kasus Industri Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta". Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 15.
Triyono dan Jogiyanto HM. 2000. "Hubungan Kandungan Informasi Arus Kas, Komponen Arus Kas, dan Laba Akuntansi dengan Harga atau Return Saham". Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No. 1, Januari: 54–68.
Usman dan Barus. 1998, Teori Pengambilan Keputusan Investasi, Edisi Revisi, Penerbit BPFE, Jogjakarta.
Utami Wiwik dan Suharmadi. 1998. "Pengaruh Informasi Penghasilan Perusahaan terhadap Harga Saham di BEJ". Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 1, No. 2, Juli : 255 – 268.

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT UPAH TINGGI TERHADAP PRODUKTIVITAS DI INDONESIA

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT UPAH TINGGI
TERHADAP PRODUKTIVITAS DI INDONESIA

Sumarlin, Iskandar Syarif,
Jhon Tafbu Ritonga, Sirojuzilam

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas antara Upah Tinggi dan Produktivitas sektor non migas di Indonesia selama kurun waktu dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004. Data yang digunakan adalah data time series yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Metode yang digunakan adalah metode Granger Causality Test. Dari hasil estimasi uji akar-akar unit (Unit Roots), kedua variabel yang diamati signifikan pada α = 1 persen. Dan pada uji derajat integrasi, variabel yang diamati stationer pada derajat tingkat 1(1) untuk Upah Tinggi dan Produktivitas. Hasil Estimasi pada uji Granger Causality Test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang searah, yaitu Upah Tinggi mempengaruhi Produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Pada pengujian melalui OLS (Ordinary Least Square) melalui persamaan diperoleh konstanta sebesar -0,000474. Koeffisien variabel Upah menunjukkan hasil yang positif sebesar Rp. 8,802065 Juta/Tenaga Kerja, berarti kenaikan Upah Tinggi sebesar 1 persen akan meningkatkan Produktivitas tenaga kerja sebesar Rp. 8,802065 Juta/Tenaga Kerja. Hasil estimasi diperoleh koefisien determinasi (R2 sebesar 0,8096) yang artinya variabel Upah menerangkan variabel Produktivitas sebesar 80,96 persen.

Kata kunci : upah dan produktivitas


PENDAHULUAN
Dalam bidang ketenagakerjaan, upah merupakan masalah yang sangat menarik untuk dibahas dan ini merupakan hal yang sangat berkaitan dengan ekonomi, dari berbagai dimensi untuk ketenagakerjaan selalu bersentuhan dengan upah. Penetapan upah menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 butir 4 menyatakan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum sebagimana dimaksud dalam ayat 3 hurup a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan pengertian upah menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang jaminan sosial tenaga kerja pasal 88 butir 3 menjelaskan bahwa upah adalah suatu penerimaan atau imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dan upah tersebut dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan menurut suatu perjanjian. Sedangkan menurut Yoder dalam Moekijat (1992) mempunyai dua (2) pendapat mengenai upah. Pendapat pertama, menyatakan bahwa upah adalah metode pembayaran untuk karyawan berdasarkan waktu atau karyawan yang dibayar menurut hasil produktivitasnya. Dan pendapatnya yang kedua, menyatakan bahwa upah adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kompensasi langsung berupa uang.
Dalam hal ini upah yang diberikan kepada tenaga kerja yang sudah memberikan produktivitasnya kepada perusahaan sesuai dengan ketentuan atau kesepakatan yang sudah berlaku antara pekerja dengan pengusaha. Upah yang biasanya diterima oleh tenaga kerja selama ini adalah upah yang sudah ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah Provinsi yang kita kenal dengan istilah Upah Minimum Provinsi (UMP) ini hanya bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) pekerja.
Dan untuk melihat besaran Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) tenaga kerja di Indonesia selama 2 (dua) tahun terakhir dan perbandingannya dengan UMP dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.


Gambar 1. Perbandingan UMP Dengan KHM 2004-2005
Sumber : BAPPENAS, 2005

Dari gambar tersebut diatas masih banyak upah tenaga kerja yang diterima belum cukup untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) pekerja itu sendiri sehingga tenaga kerja indonesia secara ekonomi selalu mengalami posisi termarjinalkan. Menurut Miraza (2006) ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa upah tenaga kerja kita selalu rendah.
Pertama, rendahnya tingkat efisiensi perusahaan. Pada umumnya perusahaan perusahaan di Indonesia bekerja dengan tingkat efisiensi rendah. Banyak perusahaan yang bekerja secara tradisional, tidak memanfaatkan kehadiran teknologi dalam proses produksi sehingga biaya yang dipakai untuk menghasilkan satu barang menjadi tinggi. Akibatnya daya saing menjadi rendah dan salah satu cara untuk menekan biaya yang tinggi ini adalah dengan menekan tingkat upah. Pekerja sebagai bumper untuk meningkatkan daya saing. Kedua, menyangkut pada ketamakan pengusaha. Mereka ingin cepat tumbuh dan untuk hal tersebut mereka memerlukan laba besar. Mereka menekan tingkat upah sehingga persentase upah di dalam menghasilkan suatu barang tidak berbanding wajar dengan persentase pengeluaran untuk bahan baku, bahan pembantu, administrasi dan manajemen. Persaingan antar sesama perusahaan juga muncul, mereka merasa malu jika perusahaannya lamban tumbuhnya. Mereka berlomba untuk tumbuh dengan mengorbankan kepentingan pekerja. Ketiga, menyangkut pada kealpaan pengusaha. Pengusaha lupa bahwa ada keterkaitan produktivitas dengan kesejahteraan pekerja. Jika kesejahteraan pekerja dapat ditingkatkan maka produktivitas mereka juga dapat dinaikan. Proses produksi bisa berjalan efisien di mana harga satuan barang yang dihasilkan menjadi rendah dan daya saing barang menjadi kuat. Sebenarnya, suasana seperti inilah yang harus diciptakan dalam suatu perusahaan. Namun berdasarkan pengamatan hal ini tidak dilakukan karena adanya persepsi yang salah atas peran pekerja dalam perusahaan. Keempat, menyangkut pada rendahnya keahlian pekerja. Pekerja yang jumlahnya banyak ini sebenarnya bukanlah pekerja yang berkeahlian. Sekolah umum yang mereka tempuh tidak menjadikan pekerja sebagai pekerja ahli. Keahlian mereka diperoleh lewat pengalaman kerja. Ini yang membuat pengusaha memberi upah rendah dan ikut memperkuat rendahnya penilaian perusahaan pada pekerja. Tetapi sebaliknya kita juga tidak melihat adanya latihan ketrampilan yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan keahlian pekerja. Yang terakhir ini tidak ada karena menyangkut pada cara penarikan pekerja (recruitment) pada perusahaan. Pekerja yang ada bukan pekerja perusahaan secara formal tetapi pekerja yang ditarik/disewa dari agen tenaga kerja. Untuk saat ini, agen agen tenaga kerja tumbuh sangat pesat untuk memenuhi kebutuhan industri/perusahaan yang memerlukan tenaga kerja. Pekerja dianggap seperti komoditi yang dapat diperjual belikan dan berakibat pada posisi pekerja tetap lemah. Tidak ada peningkatan keahlian karena tidak ada yang bertanggung jawab untuk itu. Ini merupakan kelemahan dari sistem penarikan tenaga kerja yang berjalan saat ini. Kelima, menyangkut pada sistem pengupahan yang tidak tepat. Sistem pengupahan yang mempergunakan UMP adalah tidak tepat. Sistem pengupahan seperti ini akan menciptakan kemiskinan pekerja secara terus menerus dan menjadikan pekerja sebagai kelompok masyarakat marjinal. Sistem ini tidak dinamis dan perlu dipikirkan untuk dirubah. Yang penting adalah tiap perusahaan menyusun standar kerja dan standar upah yang dipakai pada setiap perusahaan. Setiap pekerja harus dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Upah dibayar sesuai dengan standar ini. Selanjutnya, siapa pekerja yang memiliki keahlian yang lebih baik akan mendapatkan upah yang lebih besar. Cara ini akan mendorong pekerja untuk membenahi dirinya dengan keahlian yang diperlukan perusahaan. Dengan cara ini suasana kerja menjadi dinamis, produktivitas dapat ditingkatkan dan daya saing menjadi lebih kuat. Cara ini akan menciptakan kerjasama yang baik antara pekerja dengan perusahaan. Kepentingan kedua belah pihak menjadi terlindungi.
Untuk itu selayaknya sistem pengupahan yang ada di indonesia dilakukan perubahan dengan melakukan sistem upah tinggi terhadap tenaga kerja karena di dalam sistem upah tinggi semua tenaga kerja yang memasuki dunia maka dia berhak untuk mendapatkan upah yang tinggi terlepas dari tingkat pendidikan yang ditamatkannya artinya bagi tenaga kerja mempunyai kecukupan untuk memenuhi kebutuhan layak dalam hidupnya, apalagi kalau tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh tenaga kerja sudah memenuhi standard yang ditetapkan oleh perusahaan tempat tenaga kerja bekerja maka secara otomatis dia akan mendapatkan upah yang jauh lebih tinggi diatas upah rata-rata. Upah tinggi yaitu upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang besaranya jauh diatas upah rata-rata yang sudah ditetapkan (UMP), selama ini kita mengenal bahwa upah tinggi ini hanya dibayarkan kepada tenaga kerja yang profesional dan manegerial atau dengan kata lain pembayaran yang dilakukan kepada tenaga kerja sesuai dengan tingkat produktivitas yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat produktivitas tenaga kerja maka upah akan semakin tinggi atau dengan upah yang tinggi akan bisa memotivasi untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Penulisan pengkajian tentang upah tinggi ini akan dilakukan pada lembaga-lembaga atau industri yang melakukan sistem pengupahan dengan upah tinggi untuk sektor Non Migas. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian pengkajian ilmiah terhadap analisis upah tinggi terhadap produktivitas di Indonesia.

PENGERTIAN DAN TEORI UPAH.
Di dalam dunia usaha, pengupahan merupakan hal yang sewajarnya sebagai bentuk kompensasi atas kontribusi yang diberikan pekerja atau buruh kepada perusahaan. Jadi ketika perusahaan merekrut pekerja atau buruh yang diharapkan adalah pekerja/buruh dapat menjalankan serangkaian pekerjaanya untuk menghasilkan barang atau jasa yang mendukung kegiatan usaha sehingga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan yang didapat tersebut salah satunya digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi berupa upah kepada pekerja/buruh. Jadi keberadaan pekerja/buruh dalam suatu perusahaan adalah dalam kerangka bisnis kemitraan dan bukan kerangka kegiatan sosial. Hal tersebut seiring dengan definisi upah menurut undang-undang no 13 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 30 tentang ketenaga kerjaan yang berbunyi “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayar-kan menurut suatu perjanjian kerja, kesepa-katan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Kontribusi pekerja kepada perusahaan dengan menjalankan pekerjaan-nya kemudian dapat disebut sebagai kinerja atau juga dapat disebut sebagai produktivitas. Semakin baik kinerja dan produktivitasnya maka sudah selayaknya pekerja / buruh mendapat upah yang lebih baik dibanding pekerja/buruh yang rendah kinerja dan produktivitasnya. Hal ini juga sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 pasal 92 ayat (2) yang isinya, “Pengusaha melaku-kan meninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas”. Dalam peraturan ketenaga kerjaan, kita juga mengenal Upah Minimum yang diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/MEN/ 1999. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “Upah Minimum adalah Upah Bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap”. Makna dari Upah minimum ini adalah sebagai jaring pengaman terhadap pekerja/buruh supaya tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Upah minimum juga hanya diberlakukan untuk pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Terkait dengan upah dan KHM ada baiknya kita perhatikan pula dari sisi perusahaan yaitu seberapa mampu perusahaan untuk membayar upah tenaga kerja tanpa menghambat kegiatan usaha. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan usaha tetap terus berjalan dan kepentingan pekerja dalam keamanan pekerjaan, keamanan pendapatan dan keamanan sosial tetap terjaga.
Hal ini penting bila kita mengingat keadaan rata-rata UKM di Indonesia dimana kemampuannya rata-rata pada saat ini sangat terbatas. Belum lagi tantangan kedepan UKM harus siap bersaing dengan investor asing yang lebih memiliki kemampuan modal yang lebih baik mengingat perdagangan bebas akan berlaku di Indonesia. Dalam praktek dilapangan upah minimal kemudian dijadikan standar bagi kenaikan upah keseluruhan bagi suatu perusahaan dalam regio tertentu karena upah minimum dijadikan standar bagi setiap perusahaan sebagai upah terendah. Karena nilai upah terendah naik maka akan mendorong upah pada struktur diatasnya akan naik. Fenomena ini yang kemudian lebih dikenal dengan upah sundulan. Penentuan upah ini kemudian dirasakan tidak adil bagi pekerja bila ternyata kenaikan upah minimal ternyata lebih kecil dari naiknya pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari produktifitas pekerja. Atau juga tidak adil bagi perusahaan bila kenaikan Upah Minimum lebih besar dari pendapatan perusahaan yang di dapat dari produktivitas pekerja. Di perusahaan review upah dilaksanakan sesuai dengan kinerja pekerja dan juga kemampuan perusahaan untuk membayar. Untuk skema dan struktur upah akan disesuaikan dengan bentuk organisasi dari perusahaan itu sendiri karena memang setiap perusahaan mempunyai karakteristik masing-masing. Jadi kenaikan upah yang diberikan pada masing-masing pekerja akan berbeda-beda sesuai dengan kompetensi, kontribusi, jabatan, masa kerja dan lain sebagainya.
Upah adalah imbalan yang diterima pekerja atas jasa yang diberikannya dalam proses memproduksikan barang atau jasa di perusahaan. Dengan demikian pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan langsung mengenai sistem dan kondisi pengupahan di setiap perusahaan. Pekerja dan keluarganya sangat tergantung pada upah yang mereka terima untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan lain. Sebab itu para pekerja dan Serikat Pekerja selalu mengharapkan upah yang lebih besar untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Di lain pihak, para pengusaha sering melihat upah sebagai bagian dari biaya saja, sehingga pengusaha biasanya sangat hati-hati untuk meningkatkan upah.
Pemerintah berkepentingan juga untuk menetapkan kebijakan pengupahan, di satu pihak untuk tetap dapat menjamin standar kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya beli masyarakat. Di lain pihak, kebijakan pengupahan harus dapat menstimulasi investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja serta mampu menahan laju inflasi. Pekerja berpenghasil-an sangat rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya dengan memadai. Pekerja yang kurang protein akan menderita lesu darah dan tidak mampu bekerja secara produktif. Demikian juga kekurangan gizi dan kesehatan menyebab-kan pekerja yang bersangkutan cepat lelah, lesu dan kurang bersemangat melaksanakan pekerjaannya. Oleh sebab itu, upah pekerja perlu cukup layak dan terus meningkat supaya dapat meningkatkan kualitas hidup pekerja dan keluarganya. Peningkatan upah dan penghasilan pekerja akan meningkatkan daya beli masyarakat pada umumnya, yang kemudian akan menggairahkan dunia usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di lain pihak, kenaikan upah yang tidak diikuti oleh kenaikan produktivitas para pekerja akan menimbulkan kesulitan bagi pengusaha. Peningkatan produktivitas bukan saja harus cukup mengimbangi kenaikan upah akan tetapi harus juga mampu membuka peluang yang lebih besar bagi perusahaan untuk terus bertumbuh dan berkembang. Dengan demikian sistem pengupahan di satu pihak harus mencermin-kan keadilan dengan memberikan imbalan yang sesuai dengan kontribusi jasa kerja dan mendorong peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Sedangkan pengertian upah menurut Thomas H. Stone dalam Moekijat (1992), Upah menunjukkan kompensasi langsung yang diterima secara langsung oleh seseorang pegawai yang dibayar menurut tarip jam-jaman (wages refer to direct compensation received by an employee paid according to hourly rates), dan dilanjutkan oleh Beach (1992) yang mempunyai dua (2) pendapat mengenai upah. Pendapat yang pertama, menyatakan bahwa upah biasanya digunakan untuk pegawai yang pembaya-rannya dihitung menurut lamanya jam bekerja. Pendapat yang kedua, menyatakan bahwa pada umumnya upah adalah sesuatu yang diberikan sebagai imbalan jasa atau balas jasa, akan tetapi lebih khusus upah adalah uang yang dibayarkan untuk penggunaan sesuatu. Pengertian upah biasa-nya dihubungkan dengan proses pembayar-an karyawan jam-jaman.
Sedangkan teori upah efesiensi merupakan salah satu landasan mikro ekonomi Post Keynesian yang dikemuka-kan oleh Cafferty (1990) teori ini memberi-kan landasan bahwa selalu akan ada pengangguran terpaksa dan adanya industri yang tetap di dalam mempertahankan upah, karena baik industri yang ber-upah tinggi maupun yang ber-upah rendah ternyata tidak melakukan penyesuaian, tetapi cenderung mempertahankannya. Pengusaha memberikan upah yang tinggi kepada tenaga kerja dengan harapan tenaga kerja dapat meningkatkan produktivitasnya.

TEORI UPAH TINGGI.
Di dalam sistem pengupahan tenaga kerja di Indonesia kita mengenal dua (2) macam pengupahan. Pertama, kita mengenal Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk sistem pengupahan ini berdasarkan peraturan daerah masing-masing yang sudah ditetapkan oleh kepala daerah (Gubernur) landasan di dalam penetapan UMP ini adalah KHM pekerja. Kedua, upah tinggi (high wage) ini adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja dan besarannya diatas rata-rata KHM Mankiw (2002).
Sedangkan Sanchez dkk (2000) mendefinisikan upah tinggi adalah upah yang diterima lebih tinggi dari pada rata-rata dan diperoleh melalui kompetisi yang sempurna atau lebih tinggi dari pada pasaran upah untuk kasus indonesia kita kenal dengan istilah UMP. Dan pada studi ini menyebutkan bahwa upah tinggi tersebut bisa dijadikan sebagai promotor sosial kapital di dalam perekonomian. Pengkajian tentang upah tinggi (high wage) ini mengasumsikan bahwa apabila pekerja dengan mendapatkan upah yang lebih tinggi daripada upah secara rata-rata maka pekerja tersebut akan membuat pertanggung jawaban yang maksimal dan akan meningkatkan hasil (out come) sesuai dengan standar produktivitas yang telah ditentukan oleh perusahaan. Dengan demikian upah tinggi tersebut akan membuat produktivitas semakin tinggi sehingga upah tinggi mempunyai pengaruh yang positif terhadap produktivitas.
Dari sisi teori, studi penentuan upah tinggi (high wage) ini sangat menarik karena adanya dua perspektif teori yang berbeda, yaitu teori upah neo klasik dan teori upah klasik. Perbedaan dasar kedua teori tersebut antara lain, teori neo klasik meramalkan bahwa upah bisa berbeda dalam jangka waktu pendek tetapi untuk dalam jangka waktu panjang pelaku ekonomi akan mendekati harga yang sama pada tingkat keseimbangan, sebaliknya teori klasik meramalkan bahwa dalam jangka panjang upah akan tetap berbeda-beda dan pengusaha tidak akan menyesuaikan dengan kesamaan harga.
Dari asumsi diatas meramalkan bahwa kebijakan tentang pengupahan akan sangat sulit untuk menemukan titik keseimbangan sehingga untuk jangka waktu yang panjang kecenderungannya upah akan tetap berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh Taussing dalam Elfiandri dan Bactiar (2004) tentang pemberlakukan semua upah yang ada di dunia hampir seratus tahun menjadikan kontroversi bahkan lebih awal upah sudah dikaji oleh Smith (1960) yang membahas sebab-sebab perbedaan upah tersebut. Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa di dalam setiap lingkungan kerja akan selalu ditemukan perbedaan upah atau upah tinggi sesuai dengan level kedudukan masing-masing dan tingkatan tersebut selalu di bangun di dalam lingkungan kerja.
Pemikiran ini dijelaskan dari sisi teori ekonomi yang mengasumsikan adanya pasar persaingan sempurna termasuk di dalamnya penentuan upah tinggi. Asumsi mereka didasarkan pada keyakinan jika perusahaan (atau industri) menghadapi pasar out put dan pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna (equilibrium labour market), karena pekerja akan dibayar tepat sama dengan produktivitasnya.
Padahal asumsi pokok pasar persaingan sempurna adalah adanya pelaku pasar yang sama-sama banyak, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam proses pengambilan keputusan. Nilai produk marjinal ini merupakan sumbangan pekerja, dengan demikian upah sebesar nilai produk marjinal merupakan kondisi yang optimal, dalam arti tidak ada kondisi lain yang lebih baik tanpa salah satu pihak mengalami penurunan kesejahteraan atau kerugian.
Dari sisi makro, formulasi untuk tingkat kenaikan upah ini ternyata sangat serius dampaknya terhadap investasi dan lapangan kerja, dengan demikian untuk tingkatan upah tinggi ini tenaga profesional sangat diperlukan walaupun dari segi pembayaran upah jauh diatas rata-rata, sedangkan dari sisi mikro ditingkat perusahaan harus semakin mengikuti asas competetive recruitment karena apabila terjadi kesalahan di dalam pola tersebut maka perusahaan akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Sedangkan dampak perubahan upah terhadap permintaan tenaga kerja dapat ditunjukkan oleh elastisitas permintaan tenaga kerja yang salah satu faktor penentunya adalah kecenderungan substitusi diantara faktor produksi, terutama mesin terhadap tenaga kerja tidak terampil, semakin besar elastisitas substitusi permintaan tenaga kerja dan mesin semakin besar pula elastisitas permintaan tenaga kerja, elastisitas substitusi itu bisanya tergantung pada teknologi yang dipakai. Sedangkan menurut Leibenstein dkk dalam Moekijat (2000) pengusaha memberikan upah yang tinggi diatas upah rata-rata dalam pasaran tenaga kerja yang berlaku dan pekerja memberikan effort lebih baik akibatnya produktivitas dan out put akan meningkat.
Sejalan dengan pendapat tersebut upah dapat digunakan sebagai pendorong produktivitas yang dijelaskan antara lain dengan menggunakan teori upah efesiensi Cafferty (1990) Menurut teori ini produktivitas pekerja tergantung pada tingkat upah yang mereka terima, apabila tenaga kerja mendapatkan upah yang tinggi maka dia dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi badan menjadi sehat, dengan demikian dia bisa mengalokasikan waktu bekerjanya lebih tenang sehingga prodoktivitas kerja dapat ditingkatkan. Untuk kondisi Indonesia sekarang ini apakah mampu mewujutkan pengupahan dengan sistem pemberlakuan upah tinggi (high wages) di setiap lini pekerjaan.

TEORI UPAH EFFESIENSI.
Dalam teori upah efisiensi di jelaskan mengapa dalam perekonomian selalu mengalami pengangguran, menurut teori upah efisiensi perusahaan akan beroperasi lebih efisien jika upah berada di atas ekuilibrium, jadi akan lebih menguntungkan perusahaan untuk tetap mempertahankan upah tetap tinggi meskipun penawaran tenaga kerja berlebih. Menurut teori upah efisiensi membayar upah yang tinggi mungkin akan menguntungkan perusahaan karena bisa menaikkan efisiensi para pekerja.
Teori upah efisiensi yang dikembangkan oleh Cafferty (1990) meramalkan bahwa apabila pekerja dengan mendapatkan upah yang tinggi maka dia dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum hidupnya, sehingga dengan demikian apabila kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi maka pekerja akan berangkat ketempat pekerjaannya dengan tenang, dan bagi pekerja sendiri dia akan memberikan konsentrasi yang penuh dan akan mencurahkan pemikiran dan tenaganya secara maksimal selama dia berada di tempat pekerjaannya. Dampak secara ekonomi yang dimunculkan bagi perusahaan adalah tingginya tingkat produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan upah yang tinggi maka pekerjapun akan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan dengan hasil yang lebih memuaskan sehingga dengan demikian pekerja akan merasa lebih puas dengan hasil pekerjaannya sedangkan bagi perusahaan merasa tidak mengalami kerugian dengan mempekerjakan tenaga kerja yang trampil dan selalu giat dalam meningkatkan hasil produktivitas kerjanya.
Ada beberapa jenis teori upah efisiensi yang dikembangkan oleh Mankiw (2003) untuk menjelaskan mengapa perusahaan mau membayar upah yang lebih tinggi kepada pekerja

KESEHATAN PEKERJA.
Teori upah efisiensi yang berkaitan dengan kesehatan pekerja. Para pekerja yang memperoleh upah yang lebih tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak nutrisi, dan dengan demikian akan lebih sehat dan lebih produktif. Sebuah perusahaan mungkin lebih menguntungkan untuk membayar upah tinggi dan memiliki tenaga kerja yang sehat dan produktif, daripada membayar upah yang rendah tetapi memiliki pekerjaan yang tidak sehat dan kurang produktif. Jenis teori upah efisiensi ini tidak relevan untuk negara maju karena bagi Negara yang sudah maju dan kaya keseimbangan upah sebagian besar diatas tingkat untuk mengkonsumsi nutrisi yang berkecukupan, disini perusahaan tidak perlu ada kekawatiran jika mereka membayar upah ekuilibrium kesehatan para pekerja mereka akan menurun. Jenis teori upah ini lebih relevan untuk negara berkembang karena sebagian besar pekerja di Negara berkembang kekurangan nutrisi merupakan masalah yang umum, dinegara-negara yang belum maju perusahaan mungkin merasa takut bahwa jika upah dipotong, kesehatan dan produktivitas kerja akan menurun.

PERPUTARAN PEKERJA.
Jenis teori upah efisiensi ini menjelaskan hubungan antara upah dengan perputaran kerja. Pekerja berhenti bekerja karena beberapa alasan pindah ketempat pekerjaan lain, pindah ke kota lain, meninggalkan angkatan kerja dal lain-lain. Frekuensi perputaran ini tergantung pada insentif-insentif yang mereka hadapi yaitu manfaat terus bekerja versus manfaat berhenti kerja. Semakin tinggi upah yang dibayar kepada tenaga kerja semakin rendah kemungkinan pekerja akan berhenti dari pekerjaannya, jadi sebuah perusahaan dapat mengurangi perputaran pekerja dengan membayar upah yang lebih tinggi. Alasannya kakawatiran perputran pekerja tersebut adalah akan lebih mahal bagi perusahaan untuk merekrut dan melatih pekerja-pekerja baru. Selain itu mereka telah dilatih para pekerja baru tidak seproduktif pekerja yang berpengalaman, perusahaan memiliki perputaran pekerjaan yang tinggi dengan demikian akan memiliki biaya produksi yang tinggi pula. Bagi perusahaan mungkin akan lebih menguntungkan apabila membayar upah pekerja diatas tingkat ekuilibrium dalam rangka mengurangi perputaran pekerja.

KERJA KERAS PEKERJA.
Jenis teori upah efisiensi ini menjelaskan bagaimana keterkaitan antara upah dengan kerja keras pekerja. Dalam banyak pekerjaan, pekerja bekerja secara bebas, akibatnya perusahaan harus memantau kinerja pekerja tersebut, dan bagi para pekerja yang terbukti melalaikan tanggung jawab mereka akan dipecat. Tetapi tidak semua yang lalai bisa tertangkap secara langsung karena pemantauan pekerja mahal dan dan tidak efisien. Sebuah perusahaan dapat menanggulangi masalah ini dengan membayar upah diatas tingkat ekuilibrium. Upah yang lebih tinggi akan membuat pekerja lebih setia, dan dengan demikian memberikan insentif kepada pekerja untuk mencurahkan upaya dan pikiran mereka semaksimal mungkin.

KUALITAS PEKERJA.
Jenis teori upah efisiensi ini menjelaskan bagimana hubungan antara upah dengan kualitas pekerja. Saat merekrut tenaga kerja baru, sebuah perusahaan tidak bisa secara tepat mengukur kualitas dari para pekerja. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan dapat menarik kelompok pelamar yang lebih berkualitas. Dalam teori upah efisiensi ini ketika sebuah perusahaan menghadapi suplay pekerja yang berlebihan, mungkin tampak masuk akal dan menguntungkan untuk menurunkan upah yang ditawarkan. Tetapi dengan menurunkan upah, perusahaan beresiko kehilangan pekerja yang berkualitas.

TEORI PRODUKTIVITAS.
Produkvitas merupakan tujuan dari setiap organisasi atau perusahaan apapun, produktivitas mengandung pengertian yang berkenaan dengan konsep ekonomis filosopis dan sistem (Anoraga 2000) sebagai konsep ekonomis produktivitas berkenaan dengan usaha atau kegiatan manusia untuk menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan masyarakat pada umumnya. Sebagai konsep filosopis produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan mutu hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hal inilah yang memberi dorongan kepada kita untuk selalu berusaha dan mengembangkan diri. Sedangkan konsep sistem memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian suatu tujuan harus ada kerjasama atau keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai sistem.
Sedangkan menurut Siagian (2000) mendefenisikan bahwa produktivitas adalah sebagai kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana dengan menghasilkan keluaran yang optimal dan ditambahkan oleh Green (2000) bahwa produktivitas merupakan perbandingan totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi masukan selama periode tersebut.
Dari kedua defenisi tersebut jelas bahwa produktivitas menyangkut masalah hasil akhir yakni seberapa besar hasil akhir yang diperoleh dalam proses produksi. Dalam hal ini tidak terlepas dengan efesinsi dan efektivitas. Produktivitas dapat juga dijabarkan dalam berbagai persamaan yaitu sebagai hasil bagi antara keluaran dan masukan, sebagai hasil penjumlahan efektivitas dan efesiensi atau merupakan fungsi dari efektivitas dan efesiensi. Efektivitas merupakan ukuran yang menggambarkan sejauh mana sasaran dapat dicapai, sedangkan efesiensi menggambarkan bagaimana sumber-sumber daya dikelola secara tepat dan benar. Jadi secara umum dapat didefeisikan produktivitas tersebut sebagai suatu perbandingan antara keluaran dan masukan perumusan ini berlaku untuk perusahaan, industri dan ekonomi keseluruhan.
Pada dasarnya ukuran produktivitas tidak bisa sama diterapkan pada semua organisasi atau perusahaan, karena setiap organisasi atau perusahaan memiliki tenaga kerja dan modal yang berbeda, jika produktivitas suatu perusahaan diukur dari intensitas sumber daya, mesin, dan tenaga kerja secara kuantitatif maka produktivitas tidak lebih diartikan sebagai efesiensi.
Pentingnya peningkatan produktivitas bagi sebuah perusahaan atau industri yang telah disadari secara umum. Tidak ada jenis perusahaan atau industri yang tidak menginginkan produktivitasnya, karena peningkatan ini merupakan kekuatan untuk menghasilkan lebih banyak barang maupun jasa. Pengukuran produktivitas merupakan suatu alat yang penting di dalam semua tingkatan perusahaan atau industri. Secara umum Sinungan (2000), memberikan alat di dalam pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat di bedakan dalam tiga jenis.
1. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan secara histroris yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan namun hanya mengetengahkan apakah meningkat atau mengurang.
2. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses) dengan lainnya, pengukuran seperti ini menunjukkan pencapaian relatif.
3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya, dan inilah yang terbaik sebagai semusatkan pada sasaran atau tujuan.
Admosuprapto (2001) mengem-bangkan rumus dalam pengukuran produk-tivitas dalam suatu perusahaan atau industri di gunakan rumus sebagai berikut.
P =
Keterangan :
P = Produktivitas
O = Out Put
I = In Put

Pengertian produktivitas tenaga kerja dalam tulisan ini adalah tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Cara yang lazim digunakan adalah dengan membagi nilai tambah dengan jumlah tenaga bekerja yang terlibat dalam produksi tersebut Pangestu (1997).
Di dalam beberapa ensiklopedi, produktivitas didefenisikan sebagai berikut:
Productivity in economics is a term used to describe how well or how effeciency an economy’s resources are used in the processes of production (Americana Vol 22, 1978:640).
Productivity in economics is the ratio of what is produced to what is require to produce it (Britanica Vol 15, 1982:27).
Productivity refers to a class of empirical out put – input ratios that is widely used in economic hostory, economic analysis and economic policy (The encyclopedy of social science, Vol 12, 1972:523).

Inti dari pengertian produktivitas yang diungkapkan diatas ialah menyangkut perbandingan hasil yang diperoleh dengan sumber-sumber ekonomi yang digunakan. Ada yang menyatakan bahwa produktivitas ialah kuantitas atau volume dari produk atau jasa yang dihasilkan. Akan tetapi banyak pandangan menyatakan bahwa produktivitas bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas produk yang dihasilkan, yang harus juga dipakai sebagai pertimbangan mengukur tingkat produktivitas.
Kemudian ada juga kekuatan eksternal yang mempengaruhi produktivitas, yaitu :
1. Government regulation, yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah, hal ini dapat menurunkan produktivitas maupun meningkatkan produktivitas.
2. Union, yaitu organsasi karyawan, serikat pekerja hal ini juga dapat menurunkan produktivitas kerja, maupun meningkatkan produktivitas. Dalam hal ini harus dijaga bagaimana terjalin hubungan harmonis antara manajemen dengan karyawan melalui serikat pekerjanya.
3. Inovation, ini menyangkut penemuan baru dalam bidang teknologi yang menyebabkan alat produksi lama menjadi kuno, tidak efisien, ketinggalan mode. Siapa yang lebih cepat menerapkan teknologi baru, biasanya akan mendahului para saingannya dan dapat memenangkannya persangan yang terjadi di pasar.
Dari uraian diatas jelas bahwa produktivitas tidak hanya masalah bagaimana karyawan harus bekerja keras saja, tetapi yang penting bekerja sama, dengan manajemen, dengan pemimpin yang luwes (smarter), membuat pekerjaan lebih muda, sederhana, cepat dan efisien.














Gambar 2. Hal-hal Yang mempengaruhi Produktivitas.
Sumber : Sondang P Siagian, Kiat meningkatkan produktivitas kerja.

GAMBARAN PRODUKTIVITAS DENGAN PENGUPAHAN
Produktivitas dan pengupahan sangat erat sekali hubungannya, ketika pekerja bekerja secara produktif sehingga memberikan kontribusi besar pada perusahaan dan menghasilkan keuntungan yang besar maka sudah selayaknya perusahaan memberikan penghargaan namun akan berlaku sebaliknya, jika pekerja tidak bekerja produktif sehingga kontribusinya rendah terhadap perusahaan maka sudah selayaknya pula kalau penghargaan yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja juga rendah. Bagaimana upah didasarkan pada Produktivitas, selama ini kita sudah mengenal Produktivitas Total Faktor (PTF) untuk tingkat perusahaan. Adjustment pada pengupahan ini dapat dihubungkan dengan pertumbuhan dari PTF. Penghitungan pertumbuhan dari PTF didapat dari pertumbuhan nilai tambah dan modal serta tenaga kerja. Dari PTF ini kemudian baru dapat dipecah berapa pertumbuhan dari real labour productivity dan real capital productivity. Perubahan dari real labour productivity inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk perencanaan penghitungan labour cost dimana wage adjustment di dalamnya.

TEORI FUNGSI PRODUKSI.
Untuk menghasilkan hasil seorang pengusaha perlu mengkombinasikan penggunaan faktor produksi seperti tenaga, modal, tanah, mesin serta peralatan lain. Bagaimana cara faktor produksi ini dikombinasikan untuk menghasilkan output biasanya dinyatakan dalam suatu hubungan yang disebut dengan fungsi produksi. Fungsi produksi menggambarkan juga sampai seberapa jauh faktor produksi tersebut dapat saling mengganti untuk menghasilkan sejumlah tertentu output.
Pada teori produksi untuk menyederhanakan analisa digunakan anggapan bahwa satu faktor produksi selalu berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap. Tenaga kerja yang biasanya dianggap sebagai faktor produksi variable sedangkan faktor produksi yang lain seperti tanah, modal dianggap tetap.
Bagaimana akibatnya terhadap hasil (output) apabila kita menambah tenaga kerja, berapa unit tenaga kerja yang pertama kita tambahkan, akan menambah jumlah out put dengan tingkat pertambahan yang naik untuk setiap unit tenaga kerja. Namun demikian apabila kita terus menambah tenaga kerja, tingkat pertambahan output per satu unit tenaga kerja akan menurun. Tambahan out put untuk setiap pertambahan satu unit tenaga kerja ini disebut dengan produk marjinal dari tenaga kerja (marjinal product of labor). Bentuk dari fungsi produksi tersebut seperti pada gambar ini :





OutPut Total Product of Labor (TPL)




Tenaga Kerja


Gambar 3. Fungsi Produksi
Sumber : Nopirin, Ekonomi Makro, 1994

Dari gambar diatas jelas nampak bahwa setiap tambahan tenaga kerja akan menambah total product. Pada mulanya setiap tambahan tenaga kerja akan menambah total product dengan tingkat pertambahan yang menaik. Namun apabila tambahan tenaga kerja diteruskan maka tingkat tambahan total product semakin mengecil. Inilah yang sering disebut dengan hukum tingkat pertambahan hasil/out put yang semakin berkurang (law of diminishing marginal product).

TEORI TENAGA KERJA.
Dalam masalah ketenaga kerjaan yang sering menjadi persoalan adalah ketidak seimbangan antara permintaan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja, pada tingkat upah Kusumosuwidho (1981). Kesimbangan tersebut dapat berupa pertama, Lebih besarnya penawaran dibandingkan permintaan terhadap tenaga kerja kedua, lebih besarnya permintaan dibandingkan penawaran tenaga kerja.. Ada dua teori penting yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan masalah ketenaga kerjaan. Pertama menurut Lewis (1959) yang mengemukan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan out-put dan penyediaan pekerja disektor lain. Ada dua struktur di dalam perekonomian negara berkembang, yaitu sektor kapitalis modern dan sektor subsisten terbelakang. Menurut Lewis sektor subsisten terbelakang tidak hanya terdiri dari sektor pertanian, tetapi juga sektor informal. Pada sektor subsisten terbelakang mempunyai kelebihan penawaran pekerja dan tingkat upah relatif murah dari pada sektor kapitalis modern. Lebih murahnya biaya upah pekerja asal pedesaan akan dapat menjadi pendorong bagi pengusaha diperkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalam mengembangkan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses industrialisasi, kelebihan penawaran pekerja disektor subsisten terbelakang akan terserap, yang mengakibatkan pada saat tertentu tingkat upah dipedesaan juga akan meningkat yang akhirnya dapat mengurangi perbedaan/ketimpangan tingkat pendapatan.
Walaupun penghasilan disektor subsisten menentukan tingkat upah disektor kapitalis modern tetapi dalam praktek upah kapitalis 30% lebih tinggi dari pada upah subsisten sebagai akibat. Pertama, kenaikan yang mencolok pada out put sektor subsisten yang dengan kenaikan pendapatan riil dapat menyebabkan pekerja meminta upah di sektor kapitalis modern lebih tinggi untuk suatu pekerjaan. Kedua, Jika dengan penarikan buruh dari sektor subsisten itu produk total tetap sama, maka produk rata-rata dan juga pendapatan riil dari mereka yang tertinggal akan naik dan pekerja yang ditarik itu kemungkinanan menuntut upah yang lebih tinggi di sektor kapitalis modern. Ketiga, biaya hidup yang tinggi dan beberapa pertimbangan kemanusiaan dapat menggerakan para majikan menaikan upah riil, atau pemerintah dapat mendorong serikat buruh dan menyokong usaha-usaha perundingan upah mereka.
Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja tidak memberikan masalah pada pembangunan ekonomi. Sebaliknya kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sektor subsisten kesektor kapitalis modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah terlalu banyak.
Kedua menurut Ranis (1961) yang berkaitan dengan negara berkembang yang mempunyai ciri-ciri diantaranya kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak disektor pertanian, banyak pengangguran dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dan Ranis juga menambahkan bahwa ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan buruh. Pertama, dimana para penganggur semu (yang tidak menambah output pertanian) dialihkan ke sektor industri dengan upah institusi yang sama. Kedua, tahap dimana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh, dialihkan pula ke sektor industri. Ketiga, tahap ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasikan output lebih besar dari pada perolehan upah institusional. Dan dalam hal ini kelebihan pekerja terserap kesektor jasa dan industri yang meningkat terus menerus sejalan dengan penambahan output dan perluasan usahanya.
Pertumbuhan penduduk akan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan angkatan kerja, dimana semakin besar jumlah penduduk usia angkatan kerja, maka secara otomatis jumlah angkatan kerja akan bertambah. Semakin tinggi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) semakin baik, yang berarti partisipasi angkatan kerja semakin meningkat. Bila angkatan kerja seiring dengan bertambahnya partisipasi penduduk yang bekerja hal ini menyebabkan terpenuhinya permintaan akan kebutuhan tenaga kerja dan sebaliknya apabila menurunya partisipasi angkatan kerja dibandingkan dengan peningkatan angkatan kerja mengakibatkan bertambahnya pengangguran.



PASAR TENAGA KERJA.
Dalam analisis fungsi produksi diatas kita anggap bahwa faktor produksi selain tenaga kerja tetap, sedangkan penggunaan tenaga kerja lebih ditentukan oleh pasar tenaga kerja.
Berapa banyaknya tenaga kerja yang akan dipakai oleh pengusaha ini sangat ditentukan oleh upah tenaga kerja serta harga dari out putnya, nilai tambahan out put sebagai akibat tambahan satu unit tenaga kerja disebut dengan nilai produk marginal, yakni produk marginal dikalikan dengan harga out put dengan anggapan pengusaha menghadapi pasar persaingan sempurna. Pengusaha akan menambah tenaga kerja selama nilai produk marginal ini masih lebih tinggi dari upah tenaga kerja yang dibayarkan, penambahan tenaga kerja akan berhenti manakala nilai produk marginal sama dengan upah Elfindri dan Bachtiar (2004) Untuk persamaannya dapat ditulis sebagai berikut :

MPL x P = W

Dimana :
MPL = Produk Marginal Tenaga Kerja
P = Harga Out Put
W = Upah Tenaga Kerja

Kondisi diatas menunjukkan adanya keuntungan maksimum pengusaha. Pada kondisi ini dapatlah ditentukan banyaknya tenaga kerja yang akan dipergunakan, seperti gambar dibawah ini yang menjelaskan banyaknya tenaga kerja yang digunakan pengusaha. Apabila pengusaha memberlakukan upah pada W1 dan mempekerjakan tenaga kerja sebanyak n0 maka nilai produk marginal lebih tinggi dari upah sehingga keuntungan masih bias bertambah dengan menambah tenaga kerja. Sebaliknya, apabila dia mempekerjakan tenaga kerja sebanyak n2, upah yang dibayar lebih tinggi dari nilai produk marginal. Oleh Karena itu rugi, akibatnya dia akan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Penggunaan yang optimal sebesar n1 dimana nilai produk marginal sama dengan upah.

TINGKAT PRODUKTIVITAS TENA-GA KERJA.
Tingkat produktivitas menjadi bahan perbincangan ketika kita mengkaji pemakaian tenaga kerja, untuk mengenal lebih mudah tingkat produktivitas dapat dihitung dari hasil bagi nilai tambah barang-barang dan jasa dengan jumlah tenaga kerja dihitung dari jam yang ikut dalam proses produksi. Metode sederhana dapat digunakan untuk menghitung produktivitas tenaga kerja yang dikutip dari Elfindri dan Bachtiar (2004) adalah sebagai berikut :



Elastisitas tenaga kerja, pada konsep yang lain maka kontribusi tenaga kerja juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan produksi atau nilai tambah dan untuk produktivitas tenaga kerja kita buat dengan symbol (Q), untuk symbol kapital (K), sedangakn untuk symbol tenaga kerja (L).

PENELITIAN SEBELUMNYA
Penelitian yang dilakukan oleh Osman dkk (2002) di Malaysia menemukan bahwa upah tidak harus dianggap sebagai faktor biaya semata-mata, sebaliknya ia juga harus dianggap sebagai faktor pendapatan kepada pekerja. Ini membawa maksud bahwa jika upah tinggi dilakukan kesejahteraan hidup pekerja akan meningkat dan ia akan menyumbang kepada peningkatan daya usaha dan seterusnya produktivitas pekerja akan meningkat juga. Fenomena ini sekaligus dapat meningkatkan keuntungan majikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Granger dan ujian penyebab versi Toda dan Yamamoto. Hasilnya didapati bahwa kemungkinan terwujud fenomena ekonomi upah tinggi sangat sulit untuk ditolak. Artinya kenaikan upah akan disusul dengan peningkatan produktivitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez dkk (2000) di Jerman Menemukan bahwa upah yang diterima lebih tinggi dari pada rata-rata dan diperoleh melalui kompetisi yang sempurna atau lebih tinggi dari pada pasaran upah, dan pada studi ini menyebutkan bahwa upah tinggi tersebut bisa dijadikan sebagai promotor sosial kapital di dalam perekonomian. Pengkajian tentang upah tinggi ini mengasumsikan bahwa apabila pekerja dengan mendapatkan upah yang lebih tinggi daripada upah secara rata-rata maka pekerja tersebut akan membuat pertanggungjawaban yang maksimal dan akan meningkatkan hasil sesuai dengan standar produktivitas yang telah ditentukan oleh perusahaan. Dengan demikian upah tinggi tersebut akan membuat produktivitas semakin tinggi sehingga upah tinggi mempunyai pengaruh yang positif terhadap produktivitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Manning (1994) di Indonesia menemukan bahwa produktivitas pekerja tergantung pada tingkat upah yang mereka terima. Dengan upah yang lebih tinggi, pekerja mampu mengkonsumsi makanan yang lebih baik, mereka menjadi lebih sehat dan mampu bekerja lebih keras, dengan demikian tingkat produktivitas kerja akan semakin tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez (1986) di Spanyol menemukan bahwa besar kecilnya produktivitas yang ada tergantung kepada sumber daya yang tersedia bagi perekonomian untuk dapat mempertahankan atau mengembangkan dirinya sendiri, dalam hal ini upah yang diterima oleh seorang pekerja akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Flower dkk (1995) di Spanyol menemukan bahwa ada (2) dua faktor yang dapat mempengaruhi out put kerja. Pertama, perserikatan kerja dapat menekan gaji/upah dan ini selanjutnya akan merubah permintaan terhadap tenaga kerja dan akan berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Kedua, Perserikatan kerja dapat mempengaruhi efesiensi dalam perusahaan dan selanjutnya akan memiliki dampak terhadap produktivitas kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2005), di Indonesia menemukan bahwa Upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu organisasi perusahaan dan organisasi-organisasi pada umumnya dalam suatu industri. Nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan besaran upah yang lebih tinggi dan besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan nilai jabatan harus mencerminkan rasa keadilan dalam organisasi itu dan nilai jabatan yang ada di pasar kompetitive. Dan tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik.

METODE ANALISIS
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Granger Causality test. Digunakan metode ini adalah untuk melihat hubungan kausalitas antara upah tinggi dan produktivitas di Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengujian terhadap perilaku data runtun waktu (time siries) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat bagi digunakannya metode Granger Causality test.

MODEL ANALISIS


Dimana :
UT = Upah tinggi (Juta Rupiah)
Pr = Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Upah Tinggi (Juta Rupiah/Jiwa).
= koefisien regresi
П = error term

DEFENISI OPERASIONAL
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka perlu diberikan batasan operasional sebagai berikut :
1. Produktivitas adalah besaran perbandingan antara totalitas output dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja selama periode tertentu (Juta Rupiah/Jiwa).
2. Upah tinggi adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja dan besarannya diatas upah minimum/rata-rata (Juta Rupiah).

PERKEMBANGAN UPAH DI INDONESIA
Di dalam sistem pengupahan tenaga kerja di Indonesia seharusnya pemerintah secara terus menerus melakukan peninjauan terhadap perkembangan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas tenaga kerja. Dalam hal ini pemerintah menetapkan upah minimum tenaga kerja harus berdasarkan kebutuhan hidup layak, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Karena kalau melihat dari perkembangan kenaikan upah selama 5 (lima) tahun terakhir maka kenaikan upah tenaga kerja Indonesia sangat lamban hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5. Besaran Kenaikan Upah Minimum Provinsi di Indonesia Selama Lima (5) Tahun Terakhir.
Sumber : Bappenas, 2005
Dan untuk melihat besaran persentase (%) kenaikan UMP selama lima (5) tahun terakhir dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Gambar 6. Besar Persentase (%) Kenaikan UMP Selama Lima (5) Tahun Terakhir.
Sumber : Bappenas, 2005

Dari gambar tersebut untuk kasus kenaikan upah yang terjadi di Indonesia selama 6 (enam) tahun terakhir ini secara rata-rata kenaikan UMP indonesia sebesar 35%, sedangkan tingkat inflasi sebesar 8,7% dan tingkat pertumbuhan ekonomi 4,1%.


PERKEMBANGAN UPAH TINGGI DI INDONESIA

Di dalam perkembangan upah tinggi di Indonesia secara rata-rata dari tahun 1980-1990 mengalami kenaikan sebesar 8,3% sedangkan di tahun 1991-2004 mengalami peningkatan sebesar 40,6 % untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat di lihat pada tabel di bawah ini.






Tabel 1. Daftar Upah Sektor Non Migas dan Persentase Kenaikannya
Tahun Upah (Rp/Tenaga Kerja) Persentase Kenaikan
1980 81076 7,73
1981 87342 10,62
1982 96616 12,42
1983 108619 11,05
1984 120619 9,95
1985 132625 9,05
1986 144625 8,30
1987 156630 7,66
1988 168630 4,38
1989 176010 6,33
1990 187150 0,01
1991 187170 7,39
1992 201000 33,83
1993 269000 10,78
1994 298000 3,39
1995 308100 93,44
1996 596000 7,52
1997 640800 49,67
1998 959100 95,70
1999 1265100 32,60
2000 1683000 33,03
2001 1877000 27,26
2002 2025000 5,45
2003 2141800 12,59
2004 2280000 7,73
Sumber : BPS 2005, Data di kelola peneliti.
Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas tenaga kerja tersebut adalah memberikan upah berdasarkan produktivitas tenaga kerja masing-masing dan akan selalu disesuaikan dengan kondisi kemampuan perusahaan, kalau upah mengalami kenaikan maka produktivitas juga akan naik, tetapi apabila upah mengalami penurunan maka produktivitas tenaga kerja juga akan menjadi turun. Sedangkan yang menjadi tujuan dalam penetapan upah berdasarkan produktivitas ini adalah. Pertama, mempertahankan pekerja dari PHK. Kedua, menjamin daya saing perusahaan. Ketiga, Menjamin keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran perusahaan. Keempat, Meningkatkan motivasi kerja.
Sedangkan yang menjadi prinsip dalam sistem penetapan upah berdasarkan produktivitas adalah. Pertama, upah mencerminkan nilai pekerja. Kedua, kenaikan upah mendahului pertambahan produktivitas.
Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh karena nilai sumbangsihnya dalam proses produksi menciptakan nilai tambah. Perkembangan sistem pengupahan di Indonesia yang terjadi selama ini dari tahun ke tahun masih sangat lamban, apa lagi dengan sistem pengupahan di Indonesia mengacu kepada sistem upah minimum bukan mengacu kepada upah maksimum artinya ketika sistem pengupahan kita mengacu kepada sistem upah minimum maka yang dapat dipenuhi kebutuhan tenaga kerja hanya kebutuhan hidup minimumnya saja, bahkan yang terjadi akibat dari rendahnya upah yang dialami oleh tenaga kerja kita sehinga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya secara maksimal saja tidak bisa dan dalam kenaikan dalam upah minimum memiliki dampak yaitu dampak biaya (cost effect).
Tetapi kalau sistem pengupahan di Indonesia dilakukan perubahan dengan mengacu kepada sistem upah tinggi atau upah maksimum sehingga dengan demikian tenaga kerja Indonesia akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, karena di dalam sistem upah tinggi akan mengesampingkan landasan dasar pendidikan tenaga kerja tetapi ketika seorang tenaga kerja memasuki dunia kerja maka dia sudah berhak untuk mendapatkan upah yang tinggi apalagi kalau didukung dengan tingkat pendidikan yang di tamatkan oleh seorang pekerja maka secara otomatis dia akan mendapatkan upah yang lebih tinggi dari tenaga kerja yang lainnya. Dan di dalam sistem pengupahan upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu organisasi atau perusahaan dan organisasi-organisasi pada umumnya dalam suatu industri nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan besaran upah yang lebih tinggi, besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan nilai jabatan harus mencerminkan rasa keadilan dalam organisasi itu dan nilai jabatan yang ada di pasar kompetitive, tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik.

PERKEMBANGAN PRODUKTIVITAS DI INDONESIA
Dalam literatur ekonomi sumber daya manusia, produktivitas tenaga kerja menunjukkan kemampuan seseorang tenaga kerja atau pekerja untuk menghasilkan sejumlah output dalam satu satuan waktu tertentu. Produktivitas tenaga kerja tersebut dapat merupakan ukuran efisiensi pemanfaatan tenaga kerja. Hal ini mengingat bahwa secara nyata, seseorang pekerja dalam melakukan pekerjaannya, belum tentu memanfaatkan seluruh kemampuan yang di milikinya Ananta (1990) mengemukakan bahwa produktivitas tenaga kerja adalah pencerminan dari mutu tenaga kerja jika hal-hal lain dianggap Ceteris Paribus.
Dalam hal ini peningkatan upah sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja walaupan masih banyak faktor lain yang berpengaruh diantaranya pertama, sumber daya alam yang tersedia dalam jumlah yang lebih besar atau mutu yang lebih baik kedua, sumber daya modal fisik tersedia dalam jumlah yang lebih banyak atau mutu yang lebih baik.
Di dalam perkembangan Produktivitas di Indonesia secara rata-rata dari tahun 1980-1990 mengalami kenaikan sebesar 3,18% sedangkan di tahun 1991-2004 mengalami peningkatan sebesar 11,57 % untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat di lihat pada tabel di bawah ini.



Tabel 2. Daftar Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia di Sektor Non Migas dan Persentase Kenaikannya
Tahun Produktivitas (Juta/Tenaga Kerja) Persentase Kenaikan
1980 3519000
1981 3550000 0,88
1982 3580000 0,85
1983 3688800 3,04
1984 3760000 1,93
1985 3880000 3,19
1986 3932000 1,34
1987 4134000 5,14
1988 4245000 2,69
1989 4312000 1,58
1990 4467000 3,59
1991 5653000 26,55
1992 6087000 7,68
1993 6867000 12,81
1994 7575000 10,31
1995 9491000 25,29
1996 10676000 12,49
1997 12630000 18,30
1998 13080000 3,56
1999 14210000 8,64
2000 15340000 7,95
2001 16560000 7,95
2002 17710000 6,94
2003 19120000 7,96
2004 19650000 2,77
Sumber : BAPPENAS 2005, Data dikelola peneliti.

Sementara Basri (1996) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya produktivitas tenaga kerja juga dipengaruhi oleh pemanfaatan kapasitas dari berbagai sektor. Produktivitas tenaga kerja rendah karena pemanfaatan kapasitas produksi rendah. Sebetulnya pekerja bisa menghasilkan produksi lebih banyak, tetapi karena pemanfaatan kapasitas rendah, sehingga produktivitasnya rendah. Jadi dengan demikian rendahnya produktivitas tenaga kerja dapat disebabkan oleh faktor underutilized tenaga kerja yang tersedia di setiap sektor.
Dengan demikian produktivitas tenaga kerja secara umum ditentukan oleh beberapa komponen yaitu, unsur tenaga kerja itu sendiri, termasuk metode kerjanya, kesehatannya, tingkat pendidikannya, kebiasaannya, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang relatif lebih kecil. Sedangkan untuk perkembangan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah kalau dibandingkan dengan negara lain menurut laporan World Economic Forum (2003-2004) sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Peringkat Produktivitas Indonesia
Tahun Peringkat Produktivitas Indonesia
1999 37
2000 44
2001 49
2002 69
2003 72
Sumber : Laporan World Economic Forum (2003-2004)

Disini terlihat bahwa daya saing Indonesia terus mengalami penurunan terutama bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Untuk perbandingan tingkat perkembangan produktivitas tenaga kerja di beberapa negara Asean, terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Perbandingan Produktivitas di ASEAN
Negara 2002 2003
Singapore 6 6
Malaysia 27 29
Thailand 30 32
Vietnam 56 60
Philipine 62 66
Indonesia 69 72
Sumber : World Economic Forum (2003-2004).
Michael (2004), secara tegas menyatakan produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing baik pada level individu, perusahaan, industri maupun pada level negara. Produktivitas sendiri merupakan sumber standar hidup dan sumber pendapatan individual maupun perkapita. Sedangkan daya saing sendiri pada dasarnya adalah kemampuan untuk menciptakan suatu tingkat kemakmuran.
Rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia sekarang yang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada tabel 4.3 dan 4.4 kalau dicermati lebih mendalam lagi, rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia tersebut disebabkan karena rendahnya upah yang di terima oleh tenaga kerja sehingga tenaga kerja Indonesia tidak bisa memberikan upaya yang maksimal.

HASIL ESTIMASI OLS (ORDINARY LEAST SQUARE).
Melalui metode OLS dapat diketahui besarnya pengaruh kenaikan upah terhadap peningkatan produktivitas di Indonesia. Berikut ini dapat dilihat hasil estimasi dengan metode OLS seperti table di bawah ini.
Prod = -0,000474 + 8,802065 Upah

Tabel Hasil Regresi

Prod = -0,000474 8,802065 Upah
Std Error = (0,005) (1,530)
t-statistik = ( -2,292315) (5,750155)***
R2 = 0,809370
DW-Stat = 1,895608
Sumber : Lampiran 4.

Keterangan :
*** = signifikan pada α 1 persen
Dari hasil regresi di peroleh t-statistik = -2,292315 pada konstanta dan t-statistik pada upah = 5,750155 lebih besar dari t-tabel dan signifikan pada pada α 1 persen = 2,797 memperlihatkan bahwa hasil signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hasil estimasi diperoleh koefisien diterminasi (R2 sebesar 0,809370) yang berarti variable upah tinggi menerangkan variable produktivitas sebesar 80,93% dan 19,17% di jelaskan oleh faktor lainnya. Uji Durbin Watson (D-W) mempunyai hasil estimasi besar 1,895608 sehingga pada persamaan tidak terjadi korelasi parsial.
Dari hasil estimasi diatas variable Upah Tinggi memiliki tanda koefisien regresi positif sebesar 8,802065 terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Ini mengandung arti apabila upah tinggi mengalami peningkatan 1 persen ceteris paribus, maka produktivitas tenaga kerja di Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 8,802065 Juta Rupiah/Tenaga Kerja dan ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa upah tinggi berpengaruh positif terhadap produktivitas di Indonesia.
Berdasarkan hasil estimasi untuk uji t-statistik diperoleh nilai t-statistik sebesar 5,750155 dan lebih besar dari t-tabel sebesar 2,797 yang berarti variable upah tinggi memberikan pengaruh yang signifikan pada α 1 persen atau tingkat kepercayaan 99 persen terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja di Indonesia.

KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perkembangan produktivitas di Indonesia selalu mengalami peningkatan, tetapi kenaikan produktivitas tersebut masih sangat rendah dari tahun 1980-1990 secara rata-rata hanya meningkat 1,9% tetapi di tahun 1991-2004 produktivitas tenaga kerja mengalami peningkatan yang sangat melonjak sebesar secara rata-rata 15 %.
2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan upah pada sektor non migas secara rata-rata dari tahun 1980-1990 mengalami kenaikan sebesar 8,3% sedangkan di tahun 1991-2004 mengalami peningkatan sebesar 40,6 % walaupun kenaikan tersebut memerlukan waktu yang lama artinya kenaikan produktivitas tidak diimbangi dengan kenaikan upah.
3. Dari hasil uji Granger Causality Test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang searah yaitu Upah Tinggi mempengaruhi Produktivitas tenaga kerja, artinya bahwa kenaikan upah akan memberikan dampak terhadap kenaikan produktivitas tenaga kerja.

SARAN
1. Dengan ditemukannya upah tinggi mempengaruhi produktivitas tenaga kerja supaya dalam aplikasi penyusunan daftar upah tenaga kerja di harapkan mengacu kepada sistem upah tinggi atau mengacu kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tenaga kerja, karena apabila tenaga kerja memperoleh upah yang tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja dengan demikian tenaga kerja akan lebih bertanggungjawab terhadap pekerjaannya.
2. Bagi para peneliti yang berminat melihat hubungan antara upah tinggi dengan produktivitas, sebaiknya peneliti melakukan penelitian di beberapa sektor misalnya, sektor pertanian, industri, jasa, dan lain-lain.
3. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal terhadap pekerjaan supaya dalam sistem pengupahan di lakukan dengan sistem yang berkeadilan yaitu pengupahan di sesuai dengan produktivitas tenaga kerja.
4. Untuk kemajuan di setiap usaha supaya sistem pengupahan benar-benar diperhatikan dengan demikian bagi perusahaan bisa menuntut kenaikan produktivitas sedangkan bagi tenaga kerja akan mendapankan keamanan dari segi pendapatan.





DAFTAR PUSTAKA


Cafferty dalam Mankiw (1990), Teori upah efisiensi, Grafindo, Jakarta.

Elfindri dan Bachtiar (2004), Ekonomi Ketenagakerjaan. Andalas University Press. Padang.

Flower, dkk (1995), Indicator Point of Labor, Journal Review Volume 9, National University, Spanyol.

Green (1998), Pengertian produktivitas. Gramedia. Jakarta.

Manning C (2004), Promoting fair wages productivity and jobs in Garments and footwear in Indonesia. Journal Volume IX.

________(1979), Wage Differentials and Labour Market Segmentation in Indonesian Manufacturing, Journal Volume III. The Australian National University.

Mali, Paul (1976), Produktivitas apa dan Bagaimana, Journal, Volume 23.

Mankiw N. Gregory (2003), Pengantar Ekonomi, edisi Kedua, Jilid 1 dan 2, Erlangga, Jakarta.

Moekijat (1998), Pengertian Upah dan Upah Antar Industri, Gramedia, Jakarta.

Nopirin (1994), Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro dan Makro. BPFE. Yogyakarta.

Pangestu (1997), Pengertian Produktivitas, Gramedia, Jakarta.

Sánchez, dkk (2000), Unions Wages and Productivity. The Spanish Case. Journal Volume. 2 . Department of Economics University of Cantabria Spain.

Simanjuntak J. Payaman (2004), Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia. Journal Hukum Volume. 5 Tahun VI.

Siagian P. Sondang (2002), Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, PT Asdi Mahasurya, Jakarta.