Sabtu, 01 Mei 2010

ANALISIS KEBIJAKAN CUKAI TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI


ANALISIS KEBIJAKAN CUKAI TERHADAP
PENERIMAAN DALAM NEGERI

Hendra Yerison1, Murni Daulay2,
Lian Dalimunthe3, Sya’ad Afifuddin4

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan cukai berupa tarif cukai, jumlah cukai tembakau dan jumlah cukai palsu terhadap penerimaan dalam negeri. Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1985 – 2004, yang bersumber dari Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menemukan bahwa variabel tarif cukai, jumlah cukai tembakau dan jumlah cukai palsu berpengaruh signifikan terhadap perubahan penerimaan dalam negeri pada tingkat kepercayaan 99%, dan variabel tersebut mampu menjelaskan variasi penerimaan dalam negeri sebesar 98,15%. Tarif cukai, jumlah cukai tembakau berpengaruh positif terhadap penerimaan dalam negeri pada tingkat kepercayaan 95% dan 90%, sedangkan jumlah cukai palsu berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penerimaan dalam negeri. Sumbangan penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri menunjukkan peningkatan setiap tahun, dan sumbangan yang paling besar adalah dari cukai tembakau. Pada tahun 2004, konstribusi cukai terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 7,91%, sedangkan konstribusi cukai tembakau terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 7,56%, yang berarti bahwa 95,6% kontribusi cukai terhadap penerimaan dalam negeri berasal dari cukai tembakau. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan pentingnya peranan cukai hasil tembakau bukan saja dari segi penerimaan yang dihasilkan, tetapi juga dalam kaitannya dengan segala aspek dan implikasinya terhadap proses awal dan akhir (forward dan bacward lingkages). Di samping itu, aspek cukai tembakau juga berkaitan dengan masalah penciptaan lapangan kerja (employment creation).

Kata kunci : Tarif cukai, jumlah cukai tembakau, jumlah cukai palsu.



LATAR BELAKANG
Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda, sektor cukai mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat luas, khususnya dari para pakar, pengusaha barang kena cukai dan para pejabat eksekutif maupun legislatif. Hal ini terbukti dengan seringnya lembaga-lembaga kemasyarakatan memandang perlu diadakannya seminar, sarasehan, maupun diskusi-diskusi panel di media elektronika, maupun pemberitaan di media-media cetak.
Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap pembangunan dalam bentuk sumbangannya kepada penerimaan negara yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Pada saat ini Indonesia masih termasuk dalam kelompok “extremely narrow” dalam pengenaan cukai karena cukai dipungut hanya terhadap tiga jenis barang yaitu Etil Alkohol (EA), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan Hasil Tembakau (HT).
Dalam upaya menghimpun cukai untuk menutup penerimaan negara dalam APBN dari sektor cukai, pemerintah tidak dapat secara terus menerus tergantung pada tiga jenis Barang Kena Cukai (BKC) tersebut. Untuk masa yang akan datang sudah harus diupayakan adanya pengembangan BKC (usaha ekstensifikasi) yang lain yang dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai.
Dalam rangka ekstensifikasi BKC ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah mencoba untuk memperkenalkan 12 jenis calon BKC untuk mendapatkan tanggapan atau masukan dari berbagai pihak seperti pengusaha, dan para pakar. Berbagai masukan tersebut akan dipergunakan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan dalam pengembangan BKC ini.
Sekarang ini di negara-negara lain pada umumnya telah menetapkan barang kena cukai lebih dari tiga jenis. Sebagai gambaran misalnya, Finlandia mengenakan cukai terhadap 16 jenis barang, Perancis 14 jenis barang, India 28 jenis barang, Jepang 24 jenis, Malaysia sebanyak 14 jenis barang, Jerman 13 jenis dan Singapura mengenakan cukai terhadap 10 jenis barang. Sementara itu, negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dewasa ini mengenakan cukai terhadap 3 jenis barang, yaitu EA, MMEA dan HT (Departemen Keuangan, 2004).
Disamping upaya ekstensifikasi sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan cukai, pemerintah juga telah menempuh upaya intensifikasi, antara lain melalui penerapan strategi kebijakan tarif dan Harga Jual Eceran (HJE), penegakan hukum (law enforcement), pemantauan HJE, audit dan verifikasi serta peningkatan pemeriksaan fisik BKC.
Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai peranan yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dalam Tahun Anggaran (TA) 1990/1991 penerimaan cukai baru mencapai Rp. 1.799,8 miliar atau menyumbang sekitar 4% dari Penerimaan Dalam Negeri maka dalam TA 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 10.398,0 miliar atau menyumbang sebesar 7,3%. Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka pada dasarnya penerimaan cukai masih memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.
Perkembangan realisasi cukai hasil tembakau terlihat mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun dan perbandingannya dengan penerimaan cukai lainnya hampir mencapai tingkat rata-rata 94% per tahun. Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk kegiatan pemerintahan disatu pihak, semakin berfluktuasinya penerimaan negara dari sektor migas, serta semakin sulitnya memperoleh pinjaman luar negeri, maka diperlukan upaya peningkatan dana yang berasal dari dalam negeri termasuk penerimaan cukai. Disamping itu, mengingat masih rendahnya rasio antara penerimaan cukai terhadap PDB di Indonesia yaitu baru sekitar 0,75%, sementara di negara-negara lain telah mencapai rata-rata diatas 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan cukai masih mungkin untuk terus dikembangkan baik melalui ekstensifikasi maupun melalui intensifikasi.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari cukai tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik melalui ekstensifikasi berupa penambahan barang kena cukai maupun melalui intensifikasi melalui upaya penegakan hukum (law enforcement), pemantauan HJE, audit dan verifikasi serta peningkatan pengawasan fisik maupun administrasi barang kena cukai. Dalam ekstensifikasi berupa penambahan barang cukai telah dipilih 12 jenis barang untuk dikenakan cukai yaitu sabun, deterjen, air mineral, semen, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam, metanol, ban, minuman ringan, kayu lapis, bahan bakar minyak dan baterai kering/accu.

PERUMUSAN MASALAH

1. Apakah ada pengaruh kebijakan ekstensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri.
2. Apakah ada pengaruh kebijakan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri.

TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan ekstensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri.
2. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri.

MANFAAT PENELITIAN

1. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam hal peningkatan penerimaan dalam negeri.
3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.

PENERIMAAN CUKAI

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995.
Kriteria barang kena cukai dan jenis barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan (yang pemakaiannya perlu dibatasi atau diawasi). Barang kena cukai (BKC) terdiri dari tiga jenis yaitu :
1. Etil Alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya; Etil alkohol adalah barang cair, jernih dan tidak berwarna dengan rumus kimia C2H5OH yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun sintesa kimiawi
2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol. MMEA adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan atau dengan cara lainnya; sabagai contoh: bir, shandy, anggur, gin, whisky dan yang sejenis lainnya. Sedangkan konsentrat yang mengandung etil alkohol adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol
3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
BKC dapat ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan pengawasan atau pembatasan pemakaian yang disesuaikan untuk kepentingan pengaturan fiscal setelah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penerimaan cukai merupakan jenis penerimaan yang menduduki urutan ketiga dalam hal besarnya kontribusi terhadap penerimaan pajak dalam negeri. Dalam tiga tahun terakhir, secara nominal penerimaan cukai terus mengalami peningkatan. Namun, dilihat dari persentasenya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan tersebut cenderung konstan. Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan cukai secara nominal meningkat rata-rata sebesar 9,3% per tahun, yaitu dari Rp 23,2 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp 27,7 triliun dalam APBN 2004. Namun, rasio penerimaan cukai terhadap PDB relatif stabil, yaitu rata-rata 1,4% (Departemen Keuangan, 2005).
Perkembangan penerimaan cukai tersebut, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi, tarif dan harga jual eceran (HJE) rokok, dan hasil tembakau lainnya. Hal ini, terutama karena 98,0% dari penerimaan cukai berasal dari cukai rokok, sedangkan sisanya berasal dari cukai alkohol dan minuman mengandung etil alkohol. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah masih melakukan penyesuaian terhadap tarif dan HJE rokok (Departemen Keuangan, 2004).
Kenaikan tarif dan HJE rokok yang dilakukan tersebut, telah berdampak pada penurunan produksi rokok pada tahun 2002 dan 2003. Namun demikian, penurunan produksi tersebut masih dapat dikompensasikan oleh kenaikan tarif dan HJE rokok, sehingga penerimaan cukai pada tahun 2002 dan 2003 tetap meningkat. Untuk mencegah agar penurunan produksi tidak terus berlanjut, dalam tahun 2004 pemerintah tetap mempertahankan tarif cukai dan HJE rokok yang berlaku sejak tahun 2003. Kebijakan ini diharapkan akan mampu mendorong peningkatan produksi rokok pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan semakin pulihnya daya beli masyarakat.
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektivitas pemungutan cukai, dalam periode 2002-2003 pemerintah telah menempuh berbagai langkah administratif, antara lain berupa: (i) peningkatan pengawasan atas peredaran produksi barang kena cukai dan kepatuhan pabrikasi dalam membayar cukai; (ii) pemberantasan peredaran rokok polos, rokok yang dilekati pita cukai palsu, dan rokok yang dilekati dengan pita cukai yang bukan haknya; (iii) pemantauan secara intensif terhadap HJE barang kena cukai di peredaran; (iv) pengujian tingkat kepatuhan melalui audit; serta (v) peningkatan pelayanan dalam rangka penyediaan dan distribusi pita cukai (Departemen Keuangan, 2004).
Demikian pula, dalam tahun 2004 pemerintah telah menempuh beberapa langkah kebijakan administratif lanjutan, antara lain berupa: (i) penerapan excise service system (ESS), yaitu komputerisasi sistem pelayanan pita cukai hasil tembakau dalam rangka mempercepat proses pelayanan pita cukai, serta meningkatkan akurasi data penerimaan cukai hasil tembakau; (ii) peningkatan sistem pengawasan melalui peningkatan sarana dan prasarana pengawasan, pengetahuan dan keahlian sumber daya manusia (SDM) di bidang pengawasan, terutama untuk mencegah peredaran rokok polos dan pita cukai palsu, serta dalam rangka penegakan hukum dan perlindungan masyarakat; dan (iii) peningkatan pelaksanaan verifikasi dan audit melalui penetapan kriteria dokumen cukai yang memperoleh prioritas utama, pelaksanaan audit secara reguler dan insidentil, serta audit bersama DJBC, DJP, dan BPKP, serta pengkajian dan penyempurnaan sistem dan prosedur kegiatan verifikasi dan audit.
Sementara itu, perkembangan realisasi penerimaan pajak lainnya dalam periode tahun 2002-2004 relatif stabil pada kisaran 0,1% terhadap PDB. Namun demikian, secara nominal penerimaan pajak lainnya tetap meningkat, yaitu dari Rp1,5 triliun dalam tahun 2002, menjadi Rp1,7 triliun dalam tahun 2003. Dalam APBN 2004, penerimaan pajak lainnya ditetapkan sebesar Rp1,6 triliun (Kadarusman, Arlini dan Dwi Suatmi, 2004).

PERANAN PENERIMAAN CUKAI

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai peranan yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dalam TA 1990/1991 penerimaan cukai baru mencapai Rp. 1.799,8 miliar atau menyumbang sekitar 4% dari Penerimaan Dalam Negeri maka dalam TA 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 10.398,0 miliar atau menyumbang sebesar 7,3%. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka pada dasarnya penerimaan cukai masih memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan. Seperti dapat kita lihat dalam tebel 1.

TABEL 1. PERANAN PENERIMAAN CUKAI TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI
(TA 1990/1991 - 1999/2000)

(dalam miliar rupiah)
Tahun Anggaran Penerimaan Cukai H.T Lainnya Jumlah Penerimaan Dalam Negeri Peranan
(%)
1990/1991 1.713,8 86,0 1.799,8 42.193,0 4,3
1991/1992 1.703,3 211,7 1.915,0 42.582,0 4,5
1992/1993 2.116,4 125,2 2.241,6 48.862,6 4,6
1993/1994 2.470,4 155,4 2.625,8 56.113,1 4,7
1994/1995 2.647,5 505,8 3.153,3 66.418,0 4,7
1995/1996 3.451,2 141,5 3.592,7 73.013,9 4,9
1996/1997 4.060,5 202,3 4.262,8 87.603,3 4,9
1997/1998 4.892,8 208,4 5.101,2 108.183,8 4,4
1998/1999 7.459,4 478,5 7.973,9 152.869,5 5,2
1999/2000 10.113,3 285,2 10.398,0 142.203,8 7,3
Sumber: Departemen Keuangan RI .

Sementara itu, perkembangan realisasi cukai hasil tembakau terlihat mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun dan perbandingannya dengan penerimaan cukai lainnya hampir mencapai tingkat rata-rata 94% per tahun, sebagaimana terlihat dalam table di bawah ini .



TABEL 2. PERBANDINGAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN CUKAI LAINNYA
TA.1990/1991 - 1999/2000

(dalam miliar rupiah)
Tahun Anggaran Penerimaan Cukai HT Lainnya Jumlah Peranan
( % )
1990/1991 1.713,8 86,0 1.799,8 95,2
1991/1992 1,703,3 211,7 1.915,0 88,9
1992/1993 2.116,4 125,2 2.241,6 94,4
1993/1994 2.470,4 155,4 2.625,8 94,0
1994/1995 2.965,3 190,9 3.156,2 93,9
1995/1996 3.467,9 138,2 3.605,1 96,1
1996/1997 4.066,3 198,3 4.264,6 95,3
1997/1998 4.909,1 193,8 5.102,9 96,2
1998/1999 7.483,1 259,1 7.742,2 96,6
1999/2000 10.113,3 285,2 10.398,0 97,2
Sumber: Departemen Keuangan RI (diolah)

Pada TA 1990/1991 sumbangan cukai hasil tembakau terhadap cukai secara keseluruhan adalah sebesar 95,2% kemudian setiap tahunnya menunjukkan angka peningkatan (kecuali TA 1991/1992), dan pada TA 1999/2000 realisasi penerimaan cukai hasil tembakau mencapai jumlah Rp.10.113,3 miliar atau sebesar 97,26%. Sementara itu, jika dilihat dari perkembangan realisasinya penerimaan cukai hasil tembakau dalam kurun waktu 10 tahun tersebut telah terjadi peningkatan sebesar 590% atau hampir mencapai enam kali lipat, yaitu dari Rp. 1.713,8 miliar pada TA 1990/1991 menjadi Rp. 10.113,3 miliar pada TA 1999/2000.

EKSTENSIFIKASI CUKAI

Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sekarang ini, maka pemerintah memerlukan dana untuk pembangunan yang lebih besar dan diharapkan dana tersebut merupakan penerimaan dalam negeri, maka peningkatan penerimaan dari sektor cukai sangat diharapkan sekali. Dengan demikian, segala upaya perlu dikerahkan untuk menggali, meningkatkan dan mengembangkan semua sumberdaya penerimaan negara dengan tetap memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, semua potensi yang masih dapat digali akan terus dilaksanakan dan salah satu caranya adalah dengan cara perluasan objek cukai sehingga yang selama ini hanya tiga barang kena cukai yang dipungut cukainya, nantinya akan bertambah sesuai dengan penetapan pemerintah nantinya. Penambahan objek cukai ini sekarang telah dilakukan kajian oleh Ditjen Bea dan Cukai dan masih menjadi perdebatan dikalangan pengusaha, anggota DPR dan masyarakat.


PENAMBAHAN JENIS BKC

Pada dasarnya, argumentasi atau alasan dikenakannya cukai terhadap BKC di beberapa negara adalah bervariasi, antara lain pertama, to control (membatasi) beredarnya barang-barang yang dianggap immoral atau unhealthy jika dikonsumsi masyarakat. Kedua, untuk menghindari terjadinya externality yang negatif (to internalize external diseconomies), ketiga, cukai juga dapat dikenakan terhadap barang-barang yang non esensial atau atas konsumsi barang mewah, dan keempat, cukai juga digunakan sebagai suatu sarana untuk menciptakan lapangan kerja (employment creation) seperti rokok SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan salah satu faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara (government revenue) dalam pembiayaan pembangunan.
Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut dan kemungkinan potensi penerimaan cukainya, telah dipilih 12 jenis barang untuk dikenakan cukai yaitu sabun, deterjen, air mineral, semen, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam, metanol, ban, minuman ringan, kayu lapis, bahan bakar minyak dan baterai kering (accu).
Dari kajian yang telah dilakukan terhadap 12 jenis barang tersebut, dengan pertimbangan potensi, stabilitas dan fleksibilitas penerimaan cukainya pada tahap pertama dipilih tiga jenis barang yang diprioritaskan untuk dikenakan cukai yaitu ban, semen, dan minuman ringan.
Adapun karakteristik dari ketiga jenis barang tersebut sehingga dianggap layak dikenakan cukai secara singkat adalah sebagai berikut :
a. Ban
Faktor-faktor yang mendukung dikenakannya cukai terhadap ban antara lain adalah faktor kenyamanan, elastisitas permintaan, serta potensi penerimaan yang akan diperoleh.
a.1. Faktor kenyamanan (comfortable)
Merupakan salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan dengan asumsi bahwa ban merupakan salah satu komponen kendaraan yang dapat meningkatkan kenyamanan berkendaraan bagi pengemudinya.
Lebih terfokus lagi kepada jenis ban luar bias/konvensional dan ban radial yang digunakan untuk kendaraan mobil pribadi, dan ban luar sepeda motor yang memiliki kapasitas besar yang sebagian besar dimiliki oleh golongan ekonomi menengah ke atas.
Hal ini dimaksudkan pula secara tidak langsung akan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor yang beredar di jalan, sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya yang timbul akibat terjadinya kemacetan dan pemeliharaan jalan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi penggunaan kendaraan bermotor.
a.2. Faktor Elastisitas Permintaan
Untuk meningkatkan penerimaan negara, ekstensifikasi obyek cukai akan lebih berhasil bila dikenakan terhadap barang-barang yang permintaannya lebih inelastis (kurang peka terhadap perubahan harga) dan volume produk serta nilai produksinya relatif besar. Dalam kondisi ini penerimaan cukai yang diterima dapat lebih besar, karena pengenaan cukai akan mengakibatkan penurunan jumlah barang yang diminta dalam proporsi yang lebih kecil dari tarif cukainya. Berdasarkan penelitian, elastisitas permintaan terhadap ban adalah sebesar - 0,30846 yang berarti bahwa setiap kenaikan harga sebesar 10% mengakibatkan permintaan terhadap ban mobil turun sebesar 3,0846%. Dengan demikian maka ban layak dikenakan cukai karena nilai mutlak elastisitas permintaannya dibawah satu (inelastis) sehingga berpotensi sebagai sumber penerimaan cukai.
a.3. Faktor Potensi Penerimaan
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dengan asumsi produksi ban tahun 2000, diperkirakan bahwa ban sangat berpotensi untuk dikenakan cukai.

b. Se m e n
b.1. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam pengenaan cukai terhadap semen adalah dalam rangka mengkompensasikan dampak negatif terhadap lingkungan sosial maupun kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh industri semen, efisiensi pemakaian sumber daya alam, serta dalam rangka mengoptimalkan penggalian alternatif sumber dana pembangunan.
b.2. Faktor Elastisitas Permintaan
Berdasarkan kajian statistik diperoleh hasil bahwa besarnya elastisitas permintaan terhadap semen adalah -0,80673. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga 10% akan mengakibatkan penurunan jumlah permintaan sebesar 8,0673%. Oleh karena itu, semen mempunyai sifat permintaan yang inelastis yang berarti berapapun kenaikan harga semen tidak banyak mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap semen.

c. Minuman Ringan
c.1. Faktor Lingkungan
Dalam proses pengolahan bahan baku menjadi bentuk yang siap dikonsumsi, terjadi limbah baik limbah cair maupun padat. Hal ini wajar terjadi karena setiap proses perubahan bentuk materi menjadi bentuk jadi selalu ada sisa berbentuk limbah yang apabila dalam jumlah banyak akan menganggu lingkungan. Disamping itu, sebagian besar industri minuman ringan pada umumnya menyedot air tanah sebagai sumber bahan baku utama. Pengambilan air tanah secara berlebihan akan mengakibatkan pertama, turunnya permukaan air tanah dan kedua, akan mengakibatkan peresapan air laut (intrusi) sehingga merusak kualitas air tanah dsb.
c.2. Elastisitas Permintaan
Berdasarkan analisa statistik terhadap data produksi industri minuman ringan secara umum memiliki sifat inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar (-0,82). Hal ini berarti bahwa kenaikan harga minuman sebesar 10% akan mengakibatkan penurunan permintaan sebesar 8,2%. Kesimpulan ini berarti permintaan dan penawaran minuman ringan kurang peka terhadap perubahan harga. dalam batas-batas tertentu peningkatan harga minuman ringan tidak akan terlalu mempengaruhi permintaan masyarakat.

Kemungkinan Pengalihan PPnBM menjadi Penerimaan Cukai
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang No.11 Tahun 1995 tentang Cukai, dapat dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR pada pembahasan RUU APBN untuk tahun anggaran yang akan datang.
Pada dasarnya ekstensifikasi BKC dengan cara memasukkan barang-barang yang dikenakan PPnBM (barang mewah) menjadi obyek cukai dimungkinkan mengingat salah satu argumentasi atau kriteria pemungutan cukai adalah : Cukai juga dapat dikenakan atas barang-barang yang sifatnya non esensial atau atas konsumsi yang dari segi pertimbangan jika dikonsumsi oleh anggota masyarakat, maka tingkat expenditures dari anggota masyarakat tersebut dapat dianggap sebagai proxies untuk tax paying capacity mereka. Misalnya, konsumsi atas barang-barang kosmetik, jewelry, minyak wangi dan lain-lain.
Dengan demikian pada dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengalihkan barang-barang yang dikenakan PPnBM menjadi objek cukai. Sebagaimana diketahui jumlah barang yang dikenakan PPnBM atau barang yang termasuk kategori Barang Mewah menurut SK. Menkeu No. 591/KMK.04/1986 antara lain adalah :
Kelompok I : ( PPnBM 10% ) antara lain :
a. Minuman ringan yang tidak mengandung alkohol;
b. Kendaraan bermotor beroda dua dari segala merk dan jenis;
c. Alat-alat mewah dengan tenaga listrik ( elektronik );
d. Alat-alat fotografi;
e. Alat-alat olah raga mewah; dsb.
Kelompok II : ( PPnBM 20% ) antara lain :
a. Minuman mengandung alkohol;
b. Semua jenis kendaraan bermotor balap beroda dua dan beroda empat;
c. Kendaraan bermotor jenis sedan, jeep, mobil balap;
d. Kapal pesiar, dsb.
Dengan demikian, dalam pelaksanaannya diperlukan pembahasan secara komprehensif dan cermat oleh instansi terkait dari segala aspek, baik aspek yuridis maupun aspek teknis administratif dan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Hal ini perlu dipertimbangkan apabila akan dilaksanakan pengalihan pengenaan PPnBM menjadi objek cukai mengingat begitu banyak jenis barang yang termasuk dalam kategori barang mewah.
INTENSIFIKASI CUKAI
Salah satu strategi yang sangat efektif untuk mengoptimalkan penerimaan cukai selama ini adalah dengan menggunakan instrumen tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE). Meskipun pada dasarnya secara makro penerimaan cukai juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat serta elastisitas permintaan konsumen terhadap BKC.
Dalam menyusun kebijaksanaan penerimaan cukai terdapat berbagai faktor yang harus dipertimbangkan antara lain besarnya tarif cukai, jumlah produksi, serta Harga Jual Eceran Hasil Tembakau dimana masing-masing faktor mempunyai hubungan fungsional yang tidak dapat dipisahkan. Berubahnya salah satu variabel akan mempengaruhi variabel yang lain.
Untuk menentukan besarnya tarif cukai (Permana, 2000) dalam analisanya mengemukakan bahwa tingkat tarif yang semakin tinggi tidak selalu berarti akan menghasilkan penerimaan cukai yang semakin tinggi pula. Pada tingkat tertentu (sesuai dengan teori Laffer) yaitu pada saat mencapai area yang dikenal sebagai “Prohibitive Range for Government” maka penerimaan cukai justru akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan kenaikan tarif tersebut sudah tidak mampu lagi didukung oleh tingkat produksi dan penjualan oleh sebagian produsen.
Mengingat hal tersebut, maka pengenaan tarif cukai dan HJE harus dilakukan secara berhati-hati dan harus betul-betul dikaji tingkat kemampuan konsumen dalam menanggung beban cukai, jangan sampai memasuki area “Prohibitive Range for Government”. Secara garis besar intensifikasi cukai dapat dilakukan antar lain melalui strategi kebijaksanaan cukai, penegakan hukum, pemantauan HJE, audit dan verifikasi, serta peningkatan pengawasan peredaran BKC (Departemen Keuangan, 2004).
1) Strategi Kebijaksanaan Cukai
Dalam rangka menindaklanjuti usaha unifikasi dan simplifikasi Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau telah diberlakukan struktur tarif yang baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 43/PMK.04/2005 tanggal 8 juni 2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan Menteri ini merupakan penyempurnaan dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 89/KMK.05/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang merupakan perubahan dari Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 124/KMK.05/1999 tanggal 31 Maret 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 482/KMK.05/1999 tanggal 7 Oktober 1999.
Sistem pengenaan tarif cukai dan HJE berdasarkan kebijakan ini pada dasarnya mempertimbangkan : pencapaian target penerimaan, perlindungan tenaga kerja, perlindungan industri kecil, menciptakan persaingan yang sehat antar pengusaha/pabrikan.

2) Penegakan Hukum ( Law Enforcement )
Pada dasarnya pengenaan tarif cukai berdasarkan SK. Menteri Keuangan No. 89/KMK.05/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kenaikan tarif cukai yang tinggi tersebut dapat menimbulkan dampak antara lain: peredaran rokok polos (tanpa pita cukai), pelekatan pita cukai palsu, pelekatan pita cukai yang bukan haknya, seperti HJE yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Apabila hal itu sampai terjadi maka akan mengakibatkan tidak tercapainya penerimaan cukai secara optimal. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan perlu dilakukan penegakan hukum (law enforcement) secara tegas sehingga target penerimaan cukai dapat tercapai secara optimal.
Pada dasarnya dalam PP-No.81 Tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan diatur dalam lima hal pokok yaitu mengenai : kadar kandungan nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, penetapan kawasan bebas rokok, pengawasan.
Dalam lima hal pokok yang diatur dalam PP-No.81 Tahun 1999 tidak ada yang langsung berkaitan dengan tugas Departemen Keuangan beserta jajarannya termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka menghimpun penerimaan negara berupa cukai hasil tembakau.
Dalam hal pengawasan Ditjen Bea dan Cukai dapat dilibatkan dalam pengaturan pencantuman label pada kemasan rokok tentang kandungan nikotin dan tar dan dalam pengaturan label peringatan pemerintah atas bahaya merokok berdasarkan PP No.81 tahun 1999. Dalam hal ini Ditjen Bea dan Cukai dapat ikut serta di dalam pengaturan kemasan penjualan eceran rokok dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu.
Dalam hal substansi yang banyak dipermasalahkan adalah menyangkut pengaturan kadar nikotin dan tar yang terkandung dalam rokok. Kalangan yang keberatan atas ketentuan tersebut adalah industri rokok kretek, yang merasa bahwa ketentuan tersebut mustahil diterapkan pada rokok kretek, mengingat kandungan nikotin dan tar sangat tinggi pada rokok kretek karena adanya campuran cengkeh maupun tembakau yang digunakannya. Oleh sebab itu bagi industri rokok kretek kondisi tersebut memerlukan waktu dan upaya yang serius untuk dapat memenuhi kriteria kandungan nikotin dan tar sebagai mana dipersyaratkan dalam PP No.81 Tahun 1999 tersebut.
Terlepas dari kesulitan yang dihadapi rokok kretek untuk direkayasa sesuai kadar nikotin dan tar sebagaimana dipersyaratkan dalam PP No. 81 Tahun 1999, Pemerintah tetap berkepentingan atas pencapaian target penerimaan cukai tahun 2000 yang besarnya Rp. 10,05 triliun hanya dalam waktu sembilan bulan.
3) Pemantauan HJE
Pemantauan HJE dimaksudkan untuk memantau kepatuhan semua pihak guna dijadikan bahan atau barang bukti dalam rangka menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai khususnya cukai hasil tembakau.
Pengawasan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya penggunaan pita cukai palsu serta penggunaan pita cukai yang bukan haknya antara lain dengan HJE yang lebih rendah ( tidak sesuai dengan HJE minimum ) atau dengan tarif cukai yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Pemantauan dilakukan dengan cara operasi pasar atas BKC yang beredar di bawah pengawasan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) setempat. Hasil pengawasan tersebut wajib diinformasikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai up. Direktur Cukai. Apabila ada dugaan terjadi pemalsuan pita cukai, maka KPBC setempat wajib mengirimkan masing-masing contoh BKC tersebut ke Kantor Pelayanan DJBC.
Daerah obyek pemantauan dipilih di daerah yang rawan peredaran BKC yang dilekati pita cukai palsu, didaerah pinggiran kota, kantong-kantong transmigrasi, pemukiman baru dsb. Dengan adanya kegiatan pemantauan HJE ini diharapkan penerimaan cukai dapat lebih optimal.

4) Audit dan Verifikasi
Berdasarkan pasal 16 UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai disebutkan bahwa setiap pengusaha wajib menyelenggarakan administrasi secara baik. Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan audit dan verifikasi terhadap administrasi pabrikan selama 10 tahun. Apabila ternyata berdasarkan audit dan verifikasi ditemukan kecurangan atau kekurangan pembayaran cukai, maka tindak lanjut temuan dapat diberikan berdasarkan tingkat pelanggaran atau kesalahannya dengan sanksi-denda administrasi atau pidana sesuai ketentuan yang berlaku.

5) Peningkatan Pemeriksaan
Pejabat Bea dan Cukai berhak memeriksa fisik maupun dokumen BKC. Pasal 35 UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai, Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan fisik di pabrik, tempat-tempat penyimpanan atau tempat lain yang digunakan untuk menyimpan BKC yang belum dilunasi atau memperoleh pembebasan cukai. Secara berkala Pejabat Bea dan Cukai melakukan kunjungan ke pabrik untuk memeriksa situasi pabrik, persediaan pita cukai, rutinitas kegiatan produksi dan lainnya. Dengan pemeriksaan yang lebih efektif dan efisien maka diharapkan penerimaan cukai akan lebih optimal.

PENELITIAN SEBELUMNYA
Kebijakan cukai di berbagai negara termasuk di Indonesia terus mengalami reformasi. Di Philipina (Clarete, 2004), reformasi cukai yang dilakukan dengan penerapan penerimaan cukai berdasarkan nilai transaksi dan dampaknya terhadap pengumpulan, biaya administrasi cukai dan biaya transaksi bisnis menjadi fokus perhatian otoritas Bea Cukai Philipina. Transaksi nilai diartikan sebagai harga berlaku yang harus dibayar atau dapat dibayar oleh pembeli untuk barang-barang impor, akan menurunkan penerimaan cukai. Namun demikian, penggunaan nilai transaksi memperluas sumber penerimaan cukai.
Hasil penelitian Schroyen dan Aasness (2000), menunjukkan bahwa penurunan nilai tambah pajak bahan makanan di Norwegia dan pengenalan nilai tambah pajak terhadap jasa-jasa yang bermanfaat bagi rumah tangga menunjukkan suatu profil distribusi yang jelas. Reformasi tahun 2000 dilengkapi dengan perubahan tingkat pajak pada produk-produk lain, dimana setiap point peningkatan menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap penerimaan pajak tidak langsung.
Emran dan Stiglitz (2005), menyatakan bahwa saat ini konsensus perubahan pajak tidak langsung di negara-negara berkembang. Peningkatan nilai tambah pajak untuk meningkatkan pendapatan telah menurunkan pajak perdagangan. Namun demikian kebijaksanaan nilai tambah pajak adalah suatu instrumen yang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan negara-negara berkembang dibandingkan dengan pajak perdagangan.
Penelitian Bank Dunia (2000), tentang pemerintah dan aspek ekonomi pengawasan tembakau, menunjukkan bahwa diperoleh bukti dari negara-negara dengan berbagai tingkat pendapatan menunjukkan bahwa menaikkan harga rokok sangat efektif untuk menurunkan permintaan terhadap rokok.
Pajak yang lebih tinggi mendorong sebagian perokok untuk berhenti merokok dan mencegah orang lain untuk mulai merokok. Pajak yang tinggi juga akan mencegah sejumlah mantan perokok kembali merokok dan menurunkan besarnya konsumsi rokok bagi orang-orang yang masih merokok. Rata-rata peningkatan 10% harga per bungkus rokok diharapkan dapat menurunkan permintaan rokok sekitar empat persen di negara-negara berpendapatan tinggi dan sekitar delapan persen di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, dimana pendapatan rendah cenderung membuat orang lebih sensitif terhadap perubahan harga. Anak-anak dan remaja lebih sensitif terhadap kenaikan harga dibandingkan orang dewasa, sehingga intervensi seperti ini akan memiliki dampak yang berarti bagi anak-anak dan remaja.
Subandi (2003), dalam karya ilmiahnya dengan topik antara sumbangan ekonomi dan etika merokok, menyatakan bahwa rokok merupakan salah satu produk industri yang bahan bakunya berasal dari tembakau memberikan kontribusi sangat berarti bagi perolehan devisa negara. Di Indonesia kontribusi dibidang ekonomi dari industri rokok cukup besar, yaitu menyumbang pendapatan negara melalui cukai sebesar Rp.13,3 triliun pada tahun 2000, devisa sebesar Rp. 22 miliar dan menyerap sekitar 12-13 juta tenaga kerja. Dari jumlah tenaga kerja tersebut meliputi petani tembakau dan cengkeh, tenaga kerja dipabrik, transportasi, percetakan, periklanan pedagang sampai pengecer rokok dan lain-lain. Bila dikaitkan dengan pembangunan otonomi daerah industri rokok mempunyai peranan cukup besar dalam menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD) terutama pada daerah yang menjadi sentra produksi. Di Jawa Timur cukai rokok adalah kontributor tertinggi dalam fiskal. Kemampuan fiskal Jawa Timur mencapai Rp. 41 triliun per tahun. Fiskal ini diperoleh dari berbagai pajak, seperti PPH, PPN dan cukai.
Brahmantio (2004), dalam penelitiannya studi alternatif penerimaan dan tarif cukai tembakau tahun 2004, menyatakan tiga angka alternatif penerimaan cukai hasil tembakau untuk penyusunan RAPBN 2004, yakni; Rp 27,5 triliun (skenario optimis), Rp 26,7 triliun (skenario moderat), dan Rp 23,3 triliun (skenario pesimis). Dengan memperhatikan kondisi perekonomian tahun 2004 dan respon konsumen terhadap kenaikan harga hasil tembakau (penetapan HJE), serta memperhatikan kepentingan pekerja pada industri tembakau, maka target penerimaan cukai hasil tembakau hendaknya berada pada kisaran angka Rp. 23,3 triliun dan Rp. 27,5 triliun. Survey pada kelompok responden petani tembakau menunjukkan bahwa mereka memiliki persepsi yang kurang baik terhadap kebijakan cukai tembakau yang ditetapkan pemerintah. Responden menyatakan bahwa cukai tembakau yang cenderung naik terus akan membebani petani, diantaranya; kenaikan cukai ditanggung petani/ menekan harga petani (52,8%), kenaikan cukai tanpa diiringi kebijakan harga tembakau menyebabkan harga tembakau menjadi tertekan (36,3%), dan sisanya menyatakan kenaikan cukai tembakau telah menurunkan permintaan tembakau.
Frommer’s New England (2005), bahwa setiap orang pengunjung di atas 21 tahun yang masuk ke Inggris dapat membawa dengan tidak dikenakan cukai: 200 batang rokok, 100 batang cerutu (tetapi bukan cerutu Kuba) dan 3 pounds tembakau rokok. Demikian juga, jika keluar dari negara Inggris dapat membawa dengan tidak dikenakan cukai 200 batang rokok, 50 batang cerutu dan 250 g tembakau rokok. Jumlah produk tembakau yang dapat dibawa seseorang yang telah berumur 18 tahun ke atas, ke Australia dengan bebas cukai adalah 250 batang rokok atau 250 g lembaran tembakau. Sedangkan di Selandia Baru, setiap orang yang telah berumur di atas 17 tahun dapat membawa 200 batang rokok, 50 batang cerutu, atau 250 g tembakau dengan bebas cukai.

HIPOTESIS PENELITIAN
1. Ada pengaruh positif terhadap penerimaan dalam negeri pada sisi kebijakan ekstensifikasi cukai, ceteris paribus.
2. Ada pengaruh positif terhadap penerimaan dalam negeri pada sisi kebijakan intensifikasi cukai ceteris paribus.

KERANGKA PEMIKIRAN























Gambar Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Cukai Terhadap Penerimaan Dalam Negeri
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini adalah kebijaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai serta pengaruhnya terhadap penerimaan dalam negeri Indonesia selama kurun waktu dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2005.

JENIS DAN SUMBER DATA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari Departemen Keuangan dan sumber-sember lain yang relevan. Adapun data yang diperlukan adalah data kebijaksanaan ekstensifikasi cukai, kebijaksanaan intensifikasi cukai dan penerimaan dalam negeri, baik pajak maupun non pajak.

MODEL ANALISIS
Untuk mengetahui pengaruh kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri dilakukan dengan pendekatan matematis berikut :

Model 1.
Pengaruh Ekstensifikasi :
Faktor yang mempengaruhi penerimaan dalam negeri dari sisi Ekstensifikasi dapat dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut :
PDN = f (QC, PPnBM1, PPnBM2)

Dari fungsi tersebut diatas dispesifikasikan kedalam model sebagai berikut:

Ln PDN = 0 + 1 ln QC + 2 ln PPnBM1 + 3 ln PPnBM2 + 

Dimana :
PDN = Penerimaan dalam negeri (dalam milyar Rupiah) ;
QC = Jumlah barang terkena pajak (dalam unit );
PPnBM1 = Pajak barang mewah 1 (10 %);
PPnBM2 = Pajak barang mewah 2 (20 %);
0 = Intersep / konstanta;
123 = Koofisien regresi;
 = Kesalahan penganggu.

Model 2.
Pengaruh Intensifikasi :
Faktor yang mempengaruhi penerimaan dalam negeri dari sisi Intensifikasi dapat dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut :

PDN = f (TC, HJE, QCP, Int)

Dari fungsi tersebut diatas dispesifikasikan kedalam model sebagai berikut:

Ln PDN = 0 + 1 ln TC + 2 ln HJE + 3 ln QCP + 4 ln Int + 

Dimana :
PDN = Penerimaan dalam negeri (dalam milyar rupiah) ;
TC = Tarif cukai (dalam %);
HJE = Harga jual eceran (dalam rupiah);
QCP = Jumlah cukai palsu (dalam rupiah);
Int. = Intensitas pemeriksaan (dalam frekwensi);
0 = Intersep / konstanta;
1........4 = Koofisien regresi;
 = Kesalahan penganggu..

DEFINISI VARIABEL
Adapun variable yang dianalisa dalam penelitian ini ialah kebijaksanaan ekstensifikasi cukai terdiri dari jumlah barang kena cukai, pajak barang mewah; kebijaksanaan intensifikasi cukai terdiri dari tarif cukai, harga jual eceran, jumlah cukai palsu, intensitas pemeriksaan; serta penerimaan dalam negeri. Variabel-variabel tersebut diharapkan mampu menjelaskan pengaruh kebijaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

METODE ANALISIS
Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh kebijaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai terhadap penerimaan dalam negeri adalah dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

UJI KESESUAIAN ( TEST OF GOODNESS OF FIT )
Uji kesesuaian dilakukan berdasarkan nilai koefisien determinasi (R²), yang kemudian dilanjutkan dengan F-test dan T-test. Koefisien determinasi (R²) bertujuan mengetahui kekuatan variabel bebas (independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable). F-test dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara bersama. T-test dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Untuk memudahkan dalam proses pengolahan data, maka dalam analisis digunakan program Eviews versi 4.1.

PELANGGARAN ASUMSI KLASIK
Dalam suatu model regresi ada beberapa permasalahan yang bias terjadi yang secara statistik dapat menganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu melakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari (Gujarati, 2004) :
a. Multikolinieritas
Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :
1) Variasi besar (dari taksiran OLS)
2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).
3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.
4) R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari T-test.
5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.
b. Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbance atau gangguan ui. Dengan menggunakan lambang E (ui, uj) = 0; ij, secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbance atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan melalui uji Lagrange Multiplier Test (LM Test), yaitu dengan membandingkan nilai X² hitung dengan X² tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
1. Jika nilai X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, ditolak.
2. Jika nilai X2hitung < X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, tidak dapat ditolak..
c. Normalitas
Asumsi model regresi linier klasik adalah bahwa faktor penganggu ui mempunyai nilai rata-rata yang sama dengan nol, tidak berkorelasi dan mempunyai varian yang konstan. Dengan asumsi ini, OLS estimator atau penaksir akan memenuhi sifat-sifat statistik yang diinginkan, seperti ketidakbiasan dan mempunyai varian yang minimum.
Untuk mengetahui normal tidaknya faktor gangguan ui, dilakukan dengan Jarque-Bera Test (J-B Test). Uji ini menggunakan hasil estimasi residual dan X² probability distribution, yaitu dengan membandingkan nilai JBhitung atau X2hitung dengan X2tabel. Kriteria keputusan sebagai berikut :
1. Jika nilai JBhitung > X2tabel (Prob. < 0,05), maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual ui berdistribusi normal ditolak.
2. Jika nilai JBhitung < X2tabel (Prob. > 0,05), maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual ui berdistribusi normal diterima.

KESIMPULAN

1. Hasil regresi/estimasi persamaan pengaruh cukai terhadap penerimaan dalam negeri diperoleh nilai koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0,9815 yang berarti secara bersama variabel tarif cukai, jumlah cukai tembakau dan jumlah cukai palsu mampu menjelaskan variasi penerimaan dalam negeri sebesar 98,15%.
2. Secara bersama-sama variabel tarif cukai, jumlah cukai tembakau dan jumlah cukai palsu berpengaruh signifikan terhadap perubahan penerimaan dalam negeri pada tingkat keyakinan 99% dan sesuai dengan hipotesis penelitian.
3. Secara parsial, tarif cukai, jumlah cukai tembakau berpengaruh positif terhadap penerimaan dalam negeri pada tingkat keyakinan 95% dan 90%, sedangkan jumlah cukai palsu berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap peneriman dalam negeri.
4. Sumbangan penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri menunjukkan peningkatan setiap tahun, dan sumbangan yang paling besar adalah dari cukai tembakau. Pada tahun 2004, konstribusi cukai terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 7,91%, sedangkan konstribusi cukai tembakau terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 7,56%, yang berarti bahwa 95,6% kontribusi cukai terhadap penerimaan dalam negeri berasal dari cukai tembakau.

SARAN

1. Pentingnya peranan cukai hasil tembakau bukan saja dari segi penerimaan yang dihasilkan, tetapi juga dalam kaitannya dengan segala aspek dan implikasinya terhadap proses awal dan akhir (forward dan bacward lingkages). Di samping itu, aspek cukai tembakau juga berkaitan dengan masalah penciptaan lapangan kerja (employment creation). Secara eksplisit bahwa untuk setiap tingkat penerimaan negara selalu dapat dicapai dengan dua tingkat tarif yang berbeda. Pilihan para pengambil kebijakan untuk memutuskan tarif yang mana yang optimal tergantung pada daerah yang masih dapat ditoleransi oleh pemerintah (area prohibitive range for government).
2. Dalam menentukan HJE pada masa yang akan datang, pemerintah hendaknya memperhatikan kondisi perekonomian nasional dan respon konsumen terhadap kenaikan harga hasil tembakau (penetapan HJE), serta memperhatikan kepentingan pekerja pada industri tembakau.
3. Sebaiknya pemerintah melakukan ekstensifikasi terhadap barang-barang kena cukai di luar tiga jenis yang ada selama ini, sehingga penerimaan dalam negeri dapat ditingkatkan, serta ketergantungan penerimaan cukai terhadap hasil tembakau dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Endi, 2004. Perkembangan Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2004, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan, Jakarta.
Agung, Permana,2000, Kajian Terhadap Minuman Ringan Sebagai Calon Barang Kena Cukai Dalam Rangka Ekstensifikasi Objek Barang Kena Cukai, Departemen Keuangan, Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta.
Arief, Sritua, 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI-PRESS, Jakarta.
Bank Dunia, 2000. Meredam Wabah : Pemerintah Dan Aspek Ekonomi Pengawasan Terhadap Tembakau. The International Bank Of Reconstruction And Development-The World Bank, Washington,D.C.
Chaloupka, F. J., and M. Grossman, 1996. Price, Tobacco Control Policies and Youth Smoking. NBER Working Paper No. 5740. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research.
Chaloupka, F. J., and R. L. Pacula, 1998. An Examination of Gender and Race Differences in Youth Smoking Responsiveness to Price and Tobacco Control Policies. NBER Working Paper No. 6541. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research.
Clarete, Ramon L., 2004. Custom Valuation Reform in the Philippines. University of the Philippines School of Economics. July 16.
Departemen Keuangan, 2004. Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta.
Departemen Keuangan, 2005. Perkembangan Asumsi Dasar APBN Perubahan 2005, Jakarta.
Ditjen Bea dan Cukai, 2000. Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau, Departemen Keuangan, Jakarta.
Emran, M. Shahe dan Joseph E. Stiglitz, 2005. On Selective Indirect Tax Reform in Developing Countries. Journal of Public Economics 89; 599–623.
Frommer's New England, 12th Edition, 2005. New England (Customs).
Gujarati, Damodar dan Sumarno Zain, 2004. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.
Isdijoso, Brahmantio, 2004. Studi Alternatif Penerimaan dan Tarif Cukai Tembakau. Jurnal Keuangan Moneter dan Kajian Ekonomi Keuangan, Jakarta.
Kadarusman, Y.B., Silvia Mila Arlini dan Bernadetta Dwi Suatmi, 2004. Makro Ekonomi Indonesia : Perkembangan Terkini dan Prospek 2005. PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Ekonomi IBII, Jakarta.
Maravanyika, Edward, 1998. “Tobacco Production and the Search for Alternatives for Zimbabwe.” In Abedian, I., and others, eds., The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town.
Moore, M. J, 1996. “Death and Tobacco Taxes.” RAND Journal of Economics, 27(2):415

Tidak ada komentar:

Posting Komentar